Perempuan Adat Sihaporas Menangis Ceritakan Trauma Anak-anak terhadap Teror dari Polisi
Tomson Ambarita saat ini ditahan oleh pihak kepolisian setelah sebelumnya ditangkap dan dianiaya oleh sekira 50 orang tak dikenal
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Dodi Esvandi
Ia bersama sejumlah orang dari komunitas masyarakat adat di Dolok Parmonangan dan Sihaporas menyambangi beberapa kementerian dan lembaga negara untuk mengadukan apa yang dialaminya dan warga di kampungnya.
Baca juga: Kepala Suku Ondoafi hingga Masyarakat Adat Tanah Tabi Papua Minta Presiden Kembali ke UUD 1945
Mersi mengatakan mendatangi lembaga negara dan pemerintah pusat untuk memperjuangkan hak-hak dasar hidupnya, keluarganya serta masyarakat di kampung adatnya.
"Kami sangat-sangat membutuhkan ibaratnya ruang kerja kami itu sepenuhnya untuk menghidupi anak kami. Di mana suami kami yang menjadi tulang punggung keluarga itu sudah dipenjara. Itu akibat dari ulah TPL dan Kepolisian," kata dia.
Sambil menahan tangis, Mersi menceritakan kronologi penangkapan terhadap empat orang masyarakat adat di kampungnya termasuk suaminya pada tanggal 22 Juli 2024 lalu.
Saat itu, kata dia, suaminya bersama tiga temannya, seorang ibu-ibu, dan dua anak tengah tertidur di posko keamanan mereka yang berjarak sekira 8 Km dari perkampungan penduduk.
Pada dini hari, kata Mersi, mereka didatangi kurang lebih 50 orang dari gerombolan.
"Kita tidak tahu mereka dari mana karena mereka menggunakan pakaian preman (sipil). Mereka memaksa pintu rumah kita itu sampai jebol. Dan mereka berteriak diam jangan bergerak. Mereka ditendangi. Mereka dipukul. Mereka disiksa dan disetrum," kata Mersi yang tak kuasa menahan tangis.
"Dan ada juga ibu yang di sana yang ikut berjaga di sana. Ibu itu disiksa diborgol dan ditodongkan pistol. Dan anak yang berumur 10 tahun dan 8 tahun dibenturkan ke dinding, dipiting, dan diancam 'diam kau nanti, kumatikan kau nanti!'," lanjut Mersi.
Awalnya, kata dia, ia dan masyarakat kampungnya tidak mengetahui gerombolan tersebut dari mana.
Baca juga: Masyarakat Adat Kaltim Siap Sukseskan Peringatan HUT ke-79 RI di IKN
Hal itu, kata dia, mengingat gerombolan itu datang pada dini hari di waktu orang-orang tertidur.
Setelah sekira pukul 15 atau 16 sore, kata dia, kemudian ada konferensi pers dari Polres Simalungun dan diketahui bahwa suaminya beserta tiga rekannya sudah ditahan di sana.
"Dan kami juga berkunjung di sana. Dan saya melihat suami saya mukanya babak belur dan bengkak-bengkak. Mereka disiksa, padahal selama ini saya, kami keluarga, tidak pernah mendapatkan surat panggilan, dan mendapatkan surat penangkapan," kata dia.
"Itulah yang menjadi kekesalan kami, kenapa harus subuh-subuh di mana orang tidur? Di situ kepolisian datang kenapa tidak siang? Kalau siang kita tahu siapa yang datang. Dan itulah yang meresahkan kami. Kami datang ke sini untuk mencari keadilan. Semoga instansi-instansi negara mendengarkan apa keluhan kami," sambung dia.
Atas perlakuan tersebut, ia merasa Polres Simalungun tidak mengayomi mereka dan hanya mengayomi pihak PT TPL.
"Karena kami tahu juga, pasca penangkapan daripada suami kami, kami itu diteror dengan drone dan juga ada segerombolan orang itu sampai 10 mobil datang ke lokasi kami. Tapi begitu kami keluar dari posko kami, mereka kabur dengan mencekam sekali. Dan kami merasa itu adalah dari aparat negara dan dari TPL," kata dia.
Pengacara Masyarakat Adat Sihaporas yang Ditangkap Minta Kapolri Segera Tarik Perkara ke Mabes Polri |
![]() |
---|
Momentum HIMAS 2024, AMAN Harap Ada Kejelasan RUU Masyarakat Adat di DPR |
![]() |
---|
Sosok Nenek di Simalungun Pelaku Pencabulan Cucu, Kirim Foto Asusila Korban ke Teman Facebook |
![]() |
---|
Sepasang Kekasih di Simalungun Buang Bayi Hasil Hubungan Gelap, Pernah Kubur Jasad Bayi Tahun 2022 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.