Senin, 13 Oktober 2025

Rangkaian HUT Ke-52, PDIP Gelar Wayang Lakon 'Lahirnya Wisanggeni' di Sekolah Partai Lenteng Agung

Pertunjukan wayang yang rutin digelar DPP PDIP, kali ini menampilkan Lakon: Lahirnya Wisanggeni.

Tribunnews.com / Fransiskus Adhiyuda
Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto saat membuka pertunjukan wayangan ‘Satyam Eva Jayate: Api Perjuangan Nan Tak Kunjung Padam’ di halaman Masjid At-Taufiq, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (17/1/2025) malam. 

Sebab, kata Hasto, PDI Perjuangan menjadi partai yang pernah melewati ujian seperti pernah terjadi pada Kudatuli, 27 Juli 1996.

"Kita adalah partai yang berwatak banteng Kita bukan partai yang mudah diinjak-injak," jelas dia.

Lakon ‘Wisanggeni Lahir’ Gambarkan PDIP

Hasto juga menekankan bahwa ada teladan dan pelajaran yang bisa direfleksikan dari dua tokoh dalam lakon itu, yakni dari Wisanggeni dan Batara Narada, yang kontekstual dengan kondisi saat ini.

“Cerita Lahirnya Wisanggeni; Wisanggeni itu artinya racun api; dia menggambarkan seluruh suasana kebatinan PDI Perjuangan. Kita lahir bukan di tengah kasur empuk, tapi di tengah gemblengan sejarah. Justru di tengah gemblengan maha dashyat, hadir dalam sosok bayi yang dibuang di candradimuka, tak hilang dan lenyap, tapi tumbuh menjadi ksatria sakti yang cinta kebenaran dan setia kepada rakyat,” kata Hasto.

Dia juga menceritakan singkat kisah Lahirnya Wisanggeni, anak dari Arjuna dan Batara Dresanala. Hubungan pasangan ini membuat Dewasrani (anak dari Batara Guru dan Dewi Durga) cemburu. 

Dewasrani menbujuk Dewi Durga agar bisa memisahkan hubungan Arjuna dan Dresanala. Dengan otoritas Batara Guru, dilakukan pemisahan paksa.

Batara Narada, dengan kejernihan alam pikir dan moralnya, melakukan protes atas itu. Tapi ambisi kekuasaan Batara Guru sangat brutal hingga memerintahkan agar bayi dalam kandungan Dresanala dipaksa lahir lebih cepat, dan bayinya dibuang ke kawah candradimuka.

Sang bayi, bernama Wisanggeni, mengalami keajaiban. Bukannya mati, namun pembuangan ke kawah justru menjadikannya sakti mandraguna, dan mampu menegakkan kebenaran dan keadilan.

Dari kisah itu, Hasto mengatakan ada beberapa pesan.

Pertama, ketidakadilan bisa terjadi seperti dirasakan oleh Dresanala. Dunia menjadi gelap. Tetapi pada akhirnya keadilan akan datang, karena akhir kisah Wisanggeni lahir adalah Arjuna-Dresanala akhirnya bersatu dengan Wisanggeni.

“Keadilan akan mencari jalannya sendiri, karenanya kitapun meyakini Satyam Eva Jayate bekerja di dalam diri Dresanala dan Wisanggeni,” kata Hasto. 

Pesan kedua adalah kesetiaan kepada tugas seperti ditunjukkan Batara Narada. Sang batara itu selalu memperjuangkan kebenaran meski harus kehilangan pangkat dan jabatan. 

Pesan ketiga adalah bahwa dibalik persoalan kehidupan, kerap kali dimulai dari hal sederhana. Misalnya, bagaimana sikap cemburu dan nafsu kekuasaan memicu kekacauan. 

“Maka mari kita introspeksi, dengan kritik dan otokritik, kita sadari kelemahan kita, dan memperbaiki secara organisatoris. Sehingga PDI Perjuangan di usia 52 tahun mampu menyerap nilai-nilai ini dan hadir menjadi kekuataan yang berguna bagi negeri ini,” beber Hasto.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved