Sabtu, 13 September 2025

Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Pelibatan Dewan Pertahanan Nasional dalam Mengurus Sawit

Ketua DPN Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan DPN dapat mengambil peran dalam urusan penertiban kawasan hutan. Ini respons Koalisi Masyarakat Sipil.

Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra
KOALISI MASYARAKAT SIPIL - Ketua Dewan Pertahanan Nasional (DPN) sekaligus Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin saat ditemui awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/11/2024). Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Kemananan, Ardi Manto Adiputra, mengkritik Sjafrie yang menyatakan DPN dapat mengambil peran dalam urusan penertiban kawasan hutan, khususnya pelanggaran hukum oleh pengusaha kelapa sawit. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Pertahanan Nasional (DPN) Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan DPN dapat mengambil peran dalam urusan penertiban kawasan hutan, khususnya pelanggaran hukum oleh pengusaha kelapa sawit.

Hal itu disampaikan dalam kesempatan rapat bersama dengan Komisi I DPR RI pada (4/2/2025).

Sjafrie mengatakan bahwa DPN akan bertugas mengobservasi seluruh permasalahan nasional di Indonesia.

Wakil Direktur Imparsial yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Kemananan, Ardi Manto Adiputra, memandang, pernyataan Sjafrie tersebut adalah pernyataan yang tidak hanya keliru, tetapi juga merusak sistem penegakan hukum nasional dan supremasi sipil dalam sistem demokrasi di Indonesia. 

Apalagi, dia menyebut pernyataan ini mengindikasikan kembalinya praktik militerisme dan otoritarianisme yang justru  mewariskan berbagai pelanggaran HAM. 

“Pernyataan bahwa DPN akan mengambil peran dalam penertiban kawasan hutan, sawit, dan seluruh permasalahan nasional lainnya tidak sesuai dengan amanat Pasal 15 UU Pertahanan,” kata Ardi kepada wartawan, Kamis (6/2/2025).

Dia pun menjelaskan, dalam UU Pertahanan secara eksplisit ditujukan untuk mengurus kebijakan pertahanan negara. Bukan terlibat urusan sipil non-pertahanan. 

“Upaya menarik DPN ke dalam ranah non-pertahanan, termasuk juga dalam pengelolaan ekonomi, adalah bentuk penyimpangan yang bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik,” terangnya.

Direktur Imparsial ini juga menilai, pembentukan DPN harus benar-benar ditujukan untuk kepentingan pertahanan negara, memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka menghadapi kemungkinan ancaman eksternal seperti perang.

Bukan justri terlibat dalam urusan non-pertahanan di dalam negeri. 

“Keterlibatan DPN dalam urusan non-pertahanan hanya akan menghidupkan dwifungsi TNI (dulu ABRI) seperti masa Orde Baru yang mewariskan kasus pelanggaran berat HAM yang tak tuntas hingga kini,” jelasnya.

Dia juga menilai, masalah DPN ini diawali dari pembentukan Peraturan Presiden No. 202 tahun 2024 tentang DPN yang memuat pasal karet. 

Pasal 3 huruf F, misalnya, mengatur bahwa DPN memiliki fungsi lain yang diberikan oleh Presiden. Kami khawatir pasal ini dijadikan pasal sapu jagat sehingga dijadikan alasan untuk membenarkan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang lainnya dalam ranah non-pertahanan.

Pihaknya pun mencatat, sebelumnya ada beberapa keterlibatan militer dalam ranah sipil yang bermasalah seperti pengamanan proyek Rempang Eco-City yang berakibat pelanggaran HAM.

Contoh lain, penyalahgunaan TNI dalam proyek lumbung pangan atau food-estate di Merauke, Papua Selatan yang berimplikasi besar bagi konflik aparat dengan masyarakat adat. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan