Kasus Korupsi Minyak Mentah
Alasan Dirut Pertamina Sempat 'Menghilang' saat Kasus Pertamax Diungkap ke Publik
Dirut Pertamina Simon Aloysius Mantiri mengakui dirinya sengaja sempat tak muncul ke publik saat kasus korupsi tata kelola minyak dibongkar Kejagung.
Penulis:
Milani Resti Dilanggi
Editor:
Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM - Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero), Simon Aloysius Mantiri, mengakui dirinya sengaja sempat tak muncul ke publik saat kasus korupsi tata kelola minyak yang melibatkan petinggi Pertamina ini dibongkar oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Kejagung mengungkapkan, kasus ini pada akhir Februari 2025 lalu, sementara Simon baru muncul beberapa waktu setelah sejumlah pihak dari Pertamina muncul ke publik.
Kemunculan perdana Simon dilakukan saat konferensi pers di Grha Pertamina, Jakarta, pada Senin (3/3/2025) pekan lalu.
Bukan tanpa alasan, Simon mengaku, hal itu dilakukan karena saat itu tak ingin memperkeruh suasana.
Ia mengaku menghormati proses hukum dan fakta hukum yang ditemukan Kejagung disampaikan lebih dulu ke publik.
Hal tersebut, disampaikan Simon dalam rapat dengar pendapat antara Pertamina dan Komisi VI DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (11/3/2025).
"Saya terbuka sampaikan apa adanya, bahwa pada awal konpers dari Kejagung, tentunya kami menghormati proses hukum dan fakta hukum yang ditemukan."
"Jadi, kami tidak ingin pada kesempatan itu, termasuk saya sendiri, tidak ingin muncul dulu, supaya tidak terlalu memperkeruh suasana," ujar Simon, Selasa.
Simon tak mau ada anggapan Pertamina seolah-olah defensif akan kasus yang dibongkar Kejagung tersebut.
"Nanti ketika saya muncul, saya menghindari seolah-olah difensif, seolah-olah ada pertemuan seperti ini, jadi kami memberi waktu kepada Kejaksaan Agung sebagai penegak hukum sambil kami introspeksi, evaluasi internal," paparnya.
Pertama kali muncul ke publik, Simon mengatakan, kasus pada anak perusahaannya ini merupakan ujian besar bagi Pertamina.
Baca juga: Panas, Andre Rosiade dan Rieke Oneng Adu Mulut Usai Ahok Dituduh Banyak Bacot di Kasus Pertamina
Simon menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat atas kasus dugaan korupsi tata kelola minyak di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Bagi Simon, kasus ini merupakan pukulan bagi tubuh Pertamina.
"Saya sebagai Dirut Pertamina menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat Indonesia atas peristiwa yang terjadi beberapa hari terakhir ini."
"Tentunya ini adalah peristiwa yang memukul kita semua, menyedihkan juga bagi kami dan tentunya kami ini adalah salah satu ujian besar," ungkap Simon dalam konferensi pers di Grha Pertamina, Senin (3/3/2025).
Simon mengatakan, pihaknya sangat mengapresiasi langkah Kejagung dalam mengusut kasus mega korupsi yang melibatkan anak perusahaanya ini.
"Kami sangat mengapresiasi penindakan hukum atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak perusahaan PT Pertamina Persero menyangkut tata kelola minyak, impor mentah dan produk kilang 2018-2023," kata Simon.
Simon memastikan, Pertamina akan terus membantu menyelesaikan kasus apabila dibutuhkan data-data dan keterangan.
"Supaya proses ini dapat diproses dan berjalan sesuai ketentuan," jelas Simon.
Pada kesempatan ini juga, pihaknya berkomitmen atas penyelenggaraan kegiatan perusahaan dalam prinsip good corporate governance.
"Saya juga meyakini kejadian kemarin membuat resah masyarakat. Namun komitmen kami di sini kami bekerja keras menghadirkan produk dan kualitas dari BBM Pertamina yang tentunya sudah sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh Ditjen Migas," tegas Simon.
Baca juga: Komisi VI DPR Sindir Pertamina Soal Pertamax Oplosan: Kalau Oksigen Dikelola, Jangan-jangan Dioplos
9 Tersangka
Kejaksaan Agung mengungkap, kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp 193,7 triliun hanya dalam satu tahun, yakni 2023.
Namun, angka ini diperkirakan masih jauh lebih besar mengingat skandal ini terjadi sejak 2018 hingga 2023.
Kejagung sudah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus mega korupsi ini.
Adapun perannya adalah Riva bersama Direktur Feedstock and Product Optimization PT Pertamina International, Sani Dinar Saifuddin, dan Vice President (VP) Feedstock Management PT Kilang Pertamina International, Agus Purwono, memenangkan DMUT/broker minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan secara melawan hukum.
Sementara itu, tersangka DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka Agus untuk memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang.
Adapun DW atau Dimas Werhaspati adalah Komisaris PT Navigator Katulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.
Sementara, GRJ atau Gading Ramadhan Joedoe selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Riva kemudian melakukan pembelian untuk produk Pertamax (RON 92).
Namun, sebenarnya, hanya membeli Pertalite (RON 90) atau lebih rendah. Kemudian, Pertalite tersebut di-blending di Storage/Depo untuk menjadi RON 92.
Padahal, hal tersebut tidak diperbolehkan.
Selanjutnya, pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping yang dilakukan Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina International Shipping.
"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Indeks Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi."
"Sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN."
"Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, yang bersumber dari berbagai komponen," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, Senin (24/2/2025).
Sementara itu, peran dua tersangka baru yakni Maya dan Edward, dijelaskan oleh Qohar, mereka melakukan pembelian bahan bakar minyak (BBM) RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah dengan harga RON 92 dengan persetujuan Direktur Utama atau Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan.
"Kemudian tersangka Maya Kusmaya memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Edward Corne untuk melakukan blending (mencampur) produk kilang pada jenis RON 88 (Premium) dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92," jelas Qohar, Rabu (26/2/2025).
Pembelian tersebut, menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak sesuai kualitas barang.
"Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core bisnis PT Pertamina Patra Niaga," jelasnya.
Selain itu, Maya dan Edward melakukan pembayaran impor produk kilang menggunakan metode spot atau penunjukan langsung berdasarkan harga saat itu.
Perbuatan tersebut, membuat PT Pertamina Patra Niaga membayar impor kilang dengan harga yang tinggi ke mitra usaha.
Padahal, pembayaran seharusnya dilakukan menggunakan metode term atau pemilihan langsung dengan waktu berjangka supaya diperoleh harga yang wajar.
Tak hanya itu saja, Qohar menjelaskan, Maya dan Edward mengetahui dan memberikan persetujuan terhadap mark up dalam kontrak shipping yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Keterlibatan Maya dan Edward dalam mark up itu, menyebabkan PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee 13–15 persen secara melawan hukum.
"Fee tersebut diberikan kepada tersangka Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa dan tersangka Dimas Werhaspati (DW/tersangka) selaku komisaris PT Navigator Khatulistiwa," jelas Qohar.
(Tribunnews.com/Milani/Rifqah)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.