Revisi UU TNI
Pengamat: Revisi UU TNI Harus Dikawal Agar Tetap Berada Dalam Jalur yang Konstitusional
Pengamat militer Khairul Fahmi memandang kritik terhadap peran TNI dalam pemberantasan Narkoba perlu dilihat dalam perspektif lebih luas.
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memandang kritik terhadap peran TNI dalam pemberantasan Narkoba perlu dilihat dalam perspektif lebih luas.
Hal tersebut menanggapi penambahan klausa terkait ketentuan OMSP pada Pasal 7 ayat 2 dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU TNI yang diajukan pemerintah di antaranya terkait siber, perlindungan WNI, dan narkotika.
"Kritik terhadap peran TNI dalam pemberantasan narkoba perlu dilihat dalam perspektif yang lebih luas. Selain peran pengamanan perbatasan dan jalur penyelundupan, keterlibatan TNI dalam OMSP terkait narkotika juga sangat relevan dengan dinamika ancaman kontemporer yang semakin kompleks," kata Fahmi saat dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (14/3/2025).
Ia memandang narkotika tidak lagi sekadar menjadi masalah kriminal biasa, tetapi juga memiliki keterkaitan dengan kejahatan lintas negara, pendanaan kelompok separatis, serta aktivitas lain yang mengancam kedaulatan negara.
Dalam beberapa kasus, lanjut dia, peredaran narkoba juga terbukti digunakan sebagai sumber pendanaan bagi kelompok bersenjata, baik yang berbasis separatisme maupun jaringan kejahatan transnasional.
Baca juga: 21 Organisasi Masyarakat Sipil Ramai-ramai Kritik Daftar Inventaris Masalah RUU TNI
Selain itu, menurutnya peredaran narkotika juga berkaitan erat dengan ancaman siber dan penegakan hukum di laut.
Dalam skenario ancaman modern, kata Fahmi, berbagai bentuk kejahatan sering kali bercampur, sehingga batas antara ancaman militer dan nirmiliter menjadi semakin kabur.
Ia mencontohkan operasi di wilayah maritim, bukan hanya menghadapi penyelundupan narkotika, tetapi juga potensi infiltrasi aktor asing (negara/non-negara) yang memiliki agenda politik maupun kepentingan ekonomi ilegal.
Dalam konteks ini, menurut dia, pelibatan TNI menjadi masuk akal, terutama jika perannya difokuskan pada aspek pencegahan dan pengamanan di wilayah yang memang membutuhkan kapasitas militer.
Baca juga: Pimpinan DPR: Pembahasan RUU TNI Sulit Diselesaikan Sebelum Reses Lebaran
"Namun, revisi ini harus tetap dikawal agar implementasinya benar-benar berjalan sesuai dengan tujuan awal, yaitu memperkuat efektivitas pemerintahan dan stabilitas nasional tanpa mengorbankan prinsip demokrasi serta profesionalisme TNI," kata Fahmi.
"Oleh karena itu, penting juga untuk memastikan agar mekanisme pelaksanaan peran TNI dalam pemberantasan narkoba ini tidak sampai mereduksi kewenangan aparat penegak hukum lainnya, melainkan justru bersifat komplementer dan suportif," lanjut dia.
Menurut Fahmi agar proses revisi UU TNI tidak disalahpahami, maka komunikasi publik yang jelas dan berbasis fakta menjadi sangat penting.
Masyarakat, menurutnya perlu memahami bahwa perubahan ini bukan sekadar wacana baru, melainkan penyesuaian terhadap realitas yang sudah berlangsung selama ini.
Selain itu, kata dia, revisi tersebut juga tetap harus dikawal agar implementasinya benar-benar berjalan sesuai dengan tujuan awal, yaitu memperkuat efektivitas pemerintahan dan stabilitas nasional tanpa mengorbankan prinsip demokrasi serta profesionalisme TNI.
Dengan pengawasan yang ketat, kata dia, mekanisme evaluasi yang jelas, serta keterbukaan dalam proses legislasi, revisi ini justru dapat menjadi instrumen yang memperkuat peran TNI dalam menjaga kedaulatan negara di era ancaman yang semakin kompleks.
"Kita perlu terus mengikuti perkembangan pembahasan ini dengan sikap terbuka dan objektif. Jangan sampai prasangka yang berlebihan justru mengaburkan substansi pembahasan yang sebenarnya memiliki tujuan strategis bagi kepentingan nasional," kata Fahmi.
"Jadi menurut saya, revisi ini bukan untuk diterima atau ditolak mentah-mentah, tetapi untuk dikawal agar tetap berada dalam jalur yang konstitusional dan tetap dalam semangat reformasi," pungkasnya.
Sebelumnya penambahan klausa terkait ketentuan OMSP itu dikritik oleh 21 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Mereka memandang pelibatan militer dalam menangani masalah narkotika adalah terlalu berlebihan.
Menurut Koalisi upaya penanganan narkotika semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum, sebagai alat pertahanan negara TNI sepatutnya tidak terlibat di dalamnya.
Penanganan narkotika, menurut Koalisi, seharusnya lebih menekankan pada aspek medis dan penegakan hukum pun mesti dilakukan secara proporsional bukan represif atau bahkan justru melalui operasi militer selain perang dengan pelibatan TNI di dalamnya.
Karena itu, menurut Koalisi, pelibatan TNI dalam penanganan narkotika adalah berlebihan dan akan meletakkan model penanganan narkotika menjadi 'war model' dengan melibatkan militer di dalamnya dan bukan criminal justice sistem model lagi sehingga ini berbahaya karena akan membuka potensi excessive power.
Koalisi juga memandang lebih berbahaya lagi, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara (kebijakan presiden dengan pertimbanagan DPR sebagaimana diatur pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004), tetapi akan diatur lebih lanjut dalam PP sebagaimana diatur dalam draft RUU TNI.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.