Kasus Suap Ekspor CPO
4 Hakim Tersangka Suap Kasus CPO, MA Klaim Sering Ingatkan Jangan Transaksional dan Hidup Sederhana
Namun, peringatan itu seolah tak digubris oleh para "hakim nakal" yang kini terseret kasus suap bernilai puluhan miliar rupiah.
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dunia peradilan Indonesia kembali tercoreng. Empat hakim aktif, termasuk Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap besar terkait vonis lepas korporasi dalam perkara ekspor Crude Palm Oil (CPO).
Mahkamah Agung (MA) pun angkat suara, menyatakan bahwa mereka sudah berulang kali mengingatkan para hakim untuk menjunjung tinggi integritas, tidak bersikap transaksional, dan hidup sederhana.
Juru Bicara MA, Yanto, menyampaikan bahwa Ketua MA Sunarto secara konsisten menanamkan prinsip-prinsip tersebut kepada seluruh jajaran peradilan.
Namun, peringatan itu seolah tak digubris oleh para "hakim nakal" yang kini terseret kasus suap bernilai puluhan miliar rupiah.
“Berkali-kali pimpinan MA, khususnya Pak Sunarto (Ketua MA), selalu mengingatkan untuk tidak transaksional dan memberi contoh hidup sederhana,” ujar Yanto dalam konferensi pers di Gedung MA, Senin (14/4/2025).
Baca juga: Ketua Hakim PN Jakarta Selatan Terlibat Kasus Suap, di Kampung Tampak Sederhana dan Dikenal Pendiam
Sunarto bahkan dikisahkan kerap menolak fasilitas mewah seperti kamar hotel VIP saat melakukan kunjungan kerja, serta memilih mengurangi jumlah pengawalan yang biasa menyertai pejabat tinggi.
Suap di Balik Vonis Lepas Terdakwa Korupsi 3 Korporasi CPO

Kasus ini bermula dari majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, memberikan vonis lepas (ontslag) kepada tiga korporasi besar dalam perkara korupsi ekspor bahan baku minyak goreng atau CPO, pada 19 Maret 2025.
Tiga grup korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group, Wilmar Group dan Musim Mas Group,
Permata Hijau Group terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
Kemudian, Wilmar Group terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Dan Musim Mas Group terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
Tiga hakim yang menangani perkara tersebut yakni Djuyamto (ketua majelis), Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtaro.
Baca juga: Dua Fakta Penyidik KPK Geledah Rumah Anggota DPD RI La Nyalla di Surabaya Jawa Timur
Vonis lepas dari ketiga hakim itu mengugurkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung terhadap tiga perusahaan korporasi besar yang terlibat dalam kasus korupsi ekspor CPO.
Padahal, JPU Kejagung sebelumnya menuntut ketiga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, dengan pelanggaran Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
JPU menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 1 miliar kepada masing-masing perusahaan.
Selain itu, ketiga terdakwa korporasi CPO tersebut ditutut hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti atas kerugian negara dengan angka fantastis.
- Permata Hijau Group: Rp 937,56 miliar.
- Wilmar Group: Rp 11,8 triliun.
- Musim Mas Group: Rp 4,8 triliun.
Dari penyelidikan dan penyidikan, Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan cukup bukti putusan kontroversial tersebut diduga sarat intervensi dan suap.
Lantas, empat hakim ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
- Muhammad Arif Nuryanta (Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan/mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat), diduga menerima Rp 60 miliar.
- Agam Syarif Baharudin
- Ali Muhtaro
- Djuyamto --- Tiga hakim selain Muhammad Arif Nuryanta diduga menerima Rp 22,5 miliar
Baca juga: Polisi di Maluku Laporkan Istrinya yang Diduga Selingkuh dengan 2 Oknum, hingga Telantarkan Anak
Mereka diduga kuat bekerja sama dengan dua pengacara dan seorang panitera muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan dalam mengatur putusan.
Muhammad Arif Nuryanta, selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, memainkan peran kunci dalam kasus suap yang melibatkan empat hakim dalam perkara korupsi ekspor CPO. Sebagai pejabat yang memiliki kewenangan dalam penunjukan majelis hakim, Nuryanta bertanggung jawab dalam memilih dan menetapkan anggota majelis hakim yang menyidangkan perkara yang melibatkan tiga korporasi sawit besar tersebut.
Selain itu, Nuryanta juga berperan sebagai pihak yang mengatur dan melakukan transaksi suap dengan pihak pengacara ketiga terdakwa korporasi CPO.
Transaksi ini dilakukan melalui seorang panitera muda perdata, Wahyu Gunawan, yang turut terlibat dalam memfasilitasi proses suap tersebut.
Dugaan suap ini bertujuan untuk memengaruhi putusan yang menguntungkan para terdakwa korporasi sawit, yang kemudian menyebabkan putusan lepas atau "onstslag" terhadap korporasi tersebut, meskipun mereka terbukti melanggar hukum.
Mahkamah Agung
hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
suap
korupsi
korporasi CPO
Muhammad Arif Nuryanta
Kasus Suap Ekspor CPO
Saksi Bantah Komunikasi Wilmar Singapura Soal Suap Rp60 M, Siap Dikonfrontir di Sidang |
---|
Pelicin Vonis CPO Sebesar Rp 5,75 Miliar Disumbangkan Djuyamto untuk Pengadaan Gedung NU Kartasura |
---|
Sidang Kasus Suap Hakim, Istri Hakim Nonaktif Djuyamto Jadi Saksi di Persidangan |
---|
Marcella Santoso Bantah Valas Senilai Rp 50 Miliar Dalam Brankas Terkait Success Fee Perkara CPO |
---|
Eks Ketua PN Jakpus Rudi Suparmono Tak Lapor KPK Terkait Upaya Suap 1 juta USD Perkara Minyak Goreng |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.