Kasus Suap Ekspor CPO
Sosok & Peran Muhammad Syafei Tersangka Ke-8 Kasus CPO, Dari Mana Asal Rp 60 M untuk Suap 4 Hakim?
Muhammad Syafei berperan menyiapkan uang Rp 60 miliar untuk menyuap 4 hakim kasus vonis lepas ekspor CPO? Dari mana asal uang Rp 60 miliar tersebut?
Penulis:
Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hingga Rabu (16/4/2025) tercatat sudah 8 orang menjadi tersangka terkait kasus suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag perkara korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO).
Tersangka baru adalah Muhammad Syafei (MSY), seorang pejabat di Wilmar Group.
Baca juga: BREAKING NEWS: Kejagung Tambah 1 Tersangka Suap Vonis Lepas Kasus Korupsi CPO
Sebelumnya Kejagung telah menetapkan 7 tersangka dalam kasus ini.
Mereka adalah:
- Muhammad Arif Nuryanta, Ketua PN Jakarta Selatan
- Agam Syarif Baharuddin, Hakim PN Jakarta Pusat
- Ali Muhtarom, Hakim PN Jakarta Pusat
- Djuyamto, Hakim PN Jakarta Selatan
- Wahyu Gunawan, Panitera Muda Perdata Jakarta Utara
- Marcella Santoso, Kuasa Hukum Korporasi CPO
- Ariyanto Bakri, Kuasa Hukum Korporasi CPO
Dengan ditetapkannya Muhammad Syafei sebagai tersangka oleh Kejaksaan agung (Kejagung), maka kini sudah ada 8 tersangka.
Lalu Siapa Muhammad Syafei?
Berdasarkan keterangan Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar, Muhammad Syafei menjabat sebagai Head and Social Security Legal Wilmar Group.
Syafei diduga berperan aktif dalam upaya mengatur putusan vonis lepas yang dijatuhkan majelis hakim kepada tiga korporasi, PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
"Sehingga malam ini menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY di mana yang bersangkutan sebagai Social Security Legal Wilmar Group," kata Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).
Baca juga: Singgung Kasus CPO, Mahfud MD Nilai Kini Kasus Korupsi Justru Timbulkan Korupsi Baru di Pengadilan
Qohar menegaskan, penetapan MSY didasarkan pada bukti-bukti kuat yang ditemukan penyidik, yang mengindikasikan perannya dalam proses suap yang nilainya mencapai puluhan miliar rupiah.
Pidana yang disangkakan kepada Muhammad Syafei adalah Pasal 6 Ayat 1 huruf a, juncto Pasal 5 Ayat 1, juncto Pasal 13, juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat 1 di Tap UU Hukum Pidana.
"Terhadap tersangka dilakukan penahanan 20 hari ke depan, terhitung mulai hari ini di Tutan Salemba Cabang Kejagung RI," ucapnya.

Peran Muhammad Syafei
Apa peran Muhammad Syafei di kasus korupsi ekspor CPO yang turut menjerat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta ini?
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengatakan, Syafei berperan menyediakan uang kepada pengacara tiga korporasi CPO, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri yang telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.
Tak tanggung-tanggung uang yang disiapkan sebesar Rp 60 miliar.
Baca juga: Telusuri Aliran Uang Suap, Kejagung Buka Peluang Konfrontasi Semua Tersangka Vonis Lepas Kasus CPO
Lalu dari mana asal uang Rp 60 miliar untuk menyuap 4 hakim PN Jaksel yang menyidangkan perkara tersebut?
Menurut Abdul Qohar, awalnya ada pertemuan antara Arianto dengan tersangka Wahyu Gunawan yang merupakan panitera muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Wahyu menyampaikan pada Arianto yang mengharuskan agar perkara minyak goreng atau CPO itu diurus.
"Jika tidak, putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan Penuntut umum," kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Selasa (15/4/2025).
Dalam pertemuan tersebut, Wahyu kata Qohar juga menyampaikan pada Arianto untuk segera menyiapkan biaya kepengurusan perkara tersebut.
Atas permintaan dari Wahyu itu, Arianto lantas menyampaikan hasil pertemuannya kepada Marcella Santoso yang kemudian ditindaklanjuti dengan bertemu Syafei.
Qohar menjelaskan, pertemuan antara Marcella dan Syafei terjadi di rumah makan Daun Muda di Jalan Walter Mongonsidi, Jakarta Selatan.
"MS menyampaikan perihal informasi yang diperoleh dari AR dimana saat itu WG yang mengatakan bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya," jelas Qohar.
Setelah mendapat informasi dari Marcella, Syafei pun mengatakan bahwa telah dibentuk tim yang disiapkan untuk mengurus perkara tersebut.
Selang dua pekan, Ariyanto kemudian kembali dihubungi oleh Wahyu Gunawan.
Saat itu Wahyu menekankan pada Arianto agar perkara tersebut segera diurus.
Usai memperoleh informasi itu, Arianto lantas kembali menyampaikannya kepada Marcella Santoso.
"Kemudian MS kembali bertemu lagi dengan MSY di tempat makan Daun Muda, di tempat yang sama dengan pertemuan tadi," ucapnya.
"Dan saat itu MSY memberitahukan atau mengatakan bahwa biaya yang disediakan korporasi sebesar Rp 20 miliar," katanya.
Berdasarkan hasil pertemuan dengan Syafei, Marcella kemudian menggelar pertemuan dengan Arianto, Wahyu dan tersangka sekaligus mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta di Rumah Makan Layer Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur.
Dalam pertemuan itu Arif Nuryanta mengultimatum Marcella dan Arianto bahwa perkara minyak goreng tersebut tidak bisa diputus bebas.
"Tetapi bisa diputus Onslag dan yang bersangkutan dalam hal ini MAN atau Muhammad Arif Nuryanta meminta agar uang Rp 20 miliar dikalikan jadi tiga sehingga jumlah totalnya Rp 60 miliar," ujar Qohar.
Setelah pertemuan tersebut, Wahyu Gunawan menyampaikan lagi kepada Arianto untuk segera menyiapkan uang sebesar Rp 60 miliar seperti yang diminta Arif.
Arianto kemudian menyampaikan kepada Marcella dan lalu dilanjutkan lagi kepada Syafei.
Saat Marcella menghubungi Syafei, pegawai Wilmar Group itu pun menyanggupi dan akan menyiapkan uang tersebut dalam bentuk dollar Amerika Serikat (USD) atau Dollar Singapura (SGD).
Syafei kemudian menghubungi Marcella dan menyatakan bahwa uang suap tersebut telah siap untuk diantar.
"Selanjutnya MS memberikan nomor Hp AR ke MSY untuk pelaksanaan penyerahan. Setelah ada komunikasi antara AR dan MSY, kemudian AR bertemu dengan MSY diperkirakan SCBD dan selanjutnya MSY menyerahkan uang tersebut kepada AR," jelasnya.
Usai menerima uang dari Syafei, Arianto langsung mengantarkannya ke rumah Wahyu Gunawan di Cluster Ebonny Jalan Eboni 6 Blok AE, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.
Setelah menerima uang, Wahyu lantas menyerahkannya kepada Arif Nuryanta dan ia mendapat jatah sebesar 50.000 USD atau setara Rp 800 juta (kurs rupiah saat ini).
"Kemudian berdasarkan keterangan saksi dan dokumen baik yang diperoleh hari ini maupun dua hari lalu, penyidik menyimpulkan telah ditemukan dua alat bukti yang cukup sehingga menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY dimana yang bersangkutan sebagai Social Security Legal Wilmar Group," jelas Qohar.
Duduk Perkara
Kasus ini bermula dari vonis lepas yang ditetapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Januari 2023 silam.
Dalam kasus ini, jaksa menuntut Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor, dengan hukuman 12 tahun penjara.
Ia juga diminta membayar uang pengganti Rp 10,9 triliun.
Namun Majelis Hakim Tipikor hanya menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta terhadap Master pada Rabu (4/1/2023).
Kasus ini pun terungkap dan menyeret nama hakim-hakim tersebut.
Sumber: (Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan/Abdy Ryanda Shakti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.