Wacana Pergantian Wapres
Peneliti BRIN Tak Setuju dengan Jokowi, Sebut Pemakzulan Gibran Tak Harus Sepaket Bersama Prabowo
Peneliti Utama Ilmu Politik BRIN sebut tidak ada pasal yang mengatur mengenai pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden harus sepaket.
Penulis:
Rifqah
Editor:
Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Peneliti Utama Ilmu Politik BRIN, R Siti Zuhro, tidak setuju dengan pernyataan Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden satu paket.
Artinya, putra sulungnya sekaligus Wapres RI, Gibran Rakabuming Raka itu sepaket dengan Presiden RI, Prabowo Subianto, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan.
"Pemilihan presiden kemarin kan satu paket, bukan sendiri-sendiri. Kayak di Filipina itu sendiri-sendiri. Di kita ini kan satu paket," jelas Jokowi, dikutip dari YouTube Official iNews, Jumat (6/6/2025).
"Memang mekanismenya seperti itu (menerima presiden dan wakil presiden)," sambungnya.
Namun, Siti Zuhro tidak setuju dengan hal tersebut karena menurutnya, pemakzulan itu tidak harus sepaket.
"Pernyataan Pak Jokowi bahwa pemilihan kemarin itu sepaket, dalam pemilihan lho, bukan pasca pemilihan, jadi harus ada klausul yang berbeda," ungkapnya, dalam Talkshow Dua Arah Kompas TV, Jumat (13/6/2025).
"Dalam pemilihan presiden memang diusung oleh partai dan gabungan partai, calon presiden dan calon wakil presiden," katanya.
Siti Zuhro mengatakan, tidak ada pasal yang mengatur mengenai pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden harus sepaket.
Dia lantas mencontohkan bahwa pemakzulan pada zaman presiden-presiden terdahulu, seperti Mohammad Hatta hingga Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
"Setelah mereka dilantik, apakah sepaket terus? Dwitunggal terus? Kita sudah punya presiden sebelumnya, Pak Hatta mundur, Bung Karno tak mundur," katanya.
"Artinya tidak harus sepaket maksudnya?" tanya pembawa acara.
Baca juga: Soal Pemakzulan Gibran Rakabuming, Rocky Gerung Sebut Polemik Fufufafa Jadi Kebohongan Berlapis
"Iya (tak harus sepaket), jadi sepaket itu harus hati-hati menjelaskannya, tidak ada sama sekali pasal yang mengatakan kalau presiden atau wakil presiden itu mundur atau berhenti atau memang dimakzulkan, lalu dua-duanya sepaket (dimakzulkan), itu ndak ada seperti itu," jelas Siti Zuhro.
"Kita juga menyaksikan, Gus Dur mundur, Bu Megawati tidak," sambungnya lagi.
Sebelumnya, hal yang sama juga disampaikan oleh Pengamat politik, Rocky Gerung, yang mengatakan bahwa satu paket itu tidak berlaku.
"Iya, pasti ada banyak keberatan prosedural, karena dianggap bahwa ini kan satu paket dengan Pak Prabowo. Itu soal yang secara teknis bisa diselesaikan," kata Rocky, dikutip dari YouTube Rocky Gerung Official, pada Rabu (4/6/2025).
"Apakah karena satu paket? Kalau pendamping presiden itu bermasalah, maka presiden juga mesti dinyatakan di dalam kondisi yang sama? Kan enggak begitu," tambahnya.
Jokowi Anggap Biasa Desakan Pemakzulan Gibran
Sebelumnya, Jokowi mengatakan bahwa desakan pemakzulan Gibran itu merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang lumrah terjadi dalam sistem politik terbuka.
“Itu dinamika demokrasi kita. Biasa saja. Biasa. Dinamika demokrasi kan ya seperti itu,” kata Jokowi di Solo, Jawa Tengah, Jumat (6/6/2025).
Jokowi lantas mengungkapkan syarat-syarat presiden dan wakil presiden bisa dimakzulkan, yakni jika mereka melakukan perbuatan pidana, pelanggaran berat, dan perbuatan tercela.
"Bahwa pemakzulan itu harus presiden atau wakil presiden, misalnya korupsi, atau melakukan perbuatan tercela, atau melakukan pelanggaran berat. Itu baru," ujarnya.
Jokowi pun menyatakan bahwa Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan yang harus diikuti dalam menanggapi isu pemakzulan Gibran tersebut.
“Ya negara ini kan negara besar yang memiliki sistem ketatanegaraan. Ya diikuti saja proses sesuai ketatanegaraan kita,” ujar Jokowi.
Sebelumnya, desakan pemakzulan Gibran ini muncul setelah Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengirimkan surat bertanggal 26 Mei 2025 kepada pimpinan lembaga legislatif.
Surat tersebut ditandatangani oleh empat jenderal purnawirawan, yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.
Dalam surat itu, mereka menilai bahwa Gibran mendapatkan tiket pencalonan melalui putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, yang disebut cacat hukum karena diputus oleh Anwar Usman, paman Gibran yang saat itu menjabat Ketua MK.
“Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 terhadap pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu seharusnya batal demi hukum karena Anwar Usman tidak mengundurkan diri dari majelis hakim, padahal memiliki konflik kepentingan,” isi dalam surat tersebut.
(Tribunnews.com/Rifqah/Rizki A)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.