Penulisan Ulang Sejarah RI
Fadli Zon Didesak Minta Maaf Buntut Pernyataan yang Sebut Rudapaksa Massal 1998 Hanya Rumor
Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut rudapaksa massal dalam tragedi Mei 1998 hanya rumor memantik kritik.
Penulis:
Chaerul Umam
Editor:
Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sebuah wawancara publik yang menyebut rudapaksa massal dalam tragedi Mei 1998 sebagai “hanya rumor” memicu kecaman.
Pernyataan tersebut dinilai tidak hanya keliru secara faktual, tetapi juga menyakitkan dan melecehkan para penyintas kekerasan seksual, serta mengingkari salah satu bab tergelap dalam sejarah Indonesia.
Salah satu suara kritis datang dari Hendra Setiawan Boen, warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Jakarta.
“Sebagai Warga Negara Indonesia, saya mengecam keras pernyataan Fadli Zon. Menyebut pemerkosaan saat Kerusuhan Mei 1998 sebagai rumor adalah bentuk penyangkalan sejarah yang tidak bisa diterima,” kata Hendra dalam pernyataannya kepada media, Minggu (15/6/2025).
Praktisi hukum itu mengingatkan bahwa pernyataan Fadli Zon bertentangan dengan temuan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk negara pasca-kerusuhan 1998.
TGPF menyimpulkan adanya bukti kuat bahwa terjadi pemerkosaan massal yang menargetkan perempuan etnis Tionghoa secara sistematis dan terorganisir, dengan sedikitnya 66 kasus terverifikasi di Jakarta saja. Ini bukan desas-desus, melainkan hasil investigasi yang sah dan diakui negara.
“Pernyataan Fadli Zon bukan hanya bentuk pengingkaran terhadap hasil kerja TGPF, tapi juga mengkhianati upaya panjang pencarian keadilan yang dilakukan para penyintas, keluarga korban, dan masyarakat sipil selama lebih dari dua dekade,” ucap Hendra.
Dia menekankan bahwa luka kolektif akibat kekerasan berbasis etnis dan gender pada Mei 1998 masih belum pulih, dan komentar semacam ini justru memperparah trauma yang belum sembuh.
Hendra juga menyoroti pentingnya mengingat sejarah sebagai langkah krusial untuk mencegah berulangnya kekerasan serupa di masa depan.
“Menyangkal sejarah sama saja dengan menghapus pelajaran penting yang bisa menyelamatkan generasi berikutnya dari siklus kebencian dan diskriminasi. Memaafkan dan melakukan rekonsiliasi tidak berarti melupakan. Justru pengakuan atas kebenaran adalah fondasi bagi keadilan yang sejati,” ujarnya.
Ia menyerukan agar Fadli Zon secara terbuka meminta maaf kepada para korban kekerasan seksual 1998 dan kepada publik luas atas pernyataannya yang dianggap mencederai martabat korban dan merusak ingatan kolektif bangsa.
Ia juga mendesak para pejabat publik untuk bertanggung jawab menjaga integritas sejarah, bukan mengaburkan fakta demi kenyamanan politik.
“Melupakan sejarah kelam adalah bentuk kekerasan kedua terhadap para korban," ucapnya.
"Dan ketika pelaku penyangkalan adalah seorang pejabat negara, maka itu bukan sekadar kekhilafan—melainkan ancaman serius bagi demokrasi, kemanusiaan, dan keadilan,” pungkasnya.
Sebelumnya, saat siniar bersama jurnalis senior Uni Lubis, Fadli Zon menjawab pertanyaan mengapa peristiwa kekerasan terhadap perempuan dalam tragedi Mei 1998 tidak dimasukkan dalam proyek buku tersebut.
Penulisan Ulang Sejarah RI
Fadli Zon Pastikan Uji Publik Naskah Sejarah RI Dilakukan Juli Ini: Bukan Karena Desakan Warga Sipil |
---|
Ragukan Diksi 'Massal', Fadli Zon Bandingkan Pemerkosaan Tahun 98 dengan Pembantaian di Nanjing RRC |
---|
Fadli Zon Minta Maaf di DPR, Tapi Tetap Ragukan Pemerkosaan Massal Mei 1998 |
---|
Di DPR, Fadli Zon Tetap Ragukan Pemerkosaan Massal Tragedi Mei 1998 |
---|
Dikecam Politisi PDIP Soal Pemerkosaan Massal 98, Fadli Zon Bela Diri: Bukan Maksud Saya Mereduksi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.