Minggu, 10 Agustus 2025

Penulisan Ulang Sejarah RI

Fadli Zon Didesak Minta Maaf Buntut Pernyataan yang Sebut Rudapaksa Massal 1998 Hanya Rumor

Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut rudapaksa massal dalam tragedi Mei 1998 hanya rumor memantik kritik.

|
Penulis: Chaerul Umam
Tribunnews/Fersianus Waku
TUAI KRITIK - Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sebuah wawancara publik yang menyebut rudapaksa massal dalam tragedi Mei 1998 sebagai “hanya rumor” memicu kecaman. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sebuah wawancara publik yang menyebut rudapaksa massal dalam tragedi Mei 1998 sebagai “hanya rumor” memicu kecaman.

Pernyataan tersebut dinilai tidak hanya keliru secara faktual, tetapi juga menyakitkan dan melecehkan para penyintas kekerasan seksual, serta mengingkari salah satu bab tergelap dalam sejarah Indonesia.

Salah satu suara kritis datang dari Hendra Setiawan Boen, warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Jakarta. 

“Sebagai Warga Negara Indonesia, saya mengecam keras pernyataan Fadli Zon. Menyebut pemerkosaan saat Kerusuhan Mei 1998 sebagai rumor adalah bentuk penyangkalan sejarah yang tidak bisa diterima,” kata Hendra dalam pernyataannya kepada media, Minggu (15/6/2025).

Praktisi hukum itu mengingatkan bahwa pernyataan Fadli Zon bertentangan dengan temuan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk negara pasca-kerusuhan 1998. 

TGPF menyimpulkan adanya bukti kuat bahwa terjadi pemerkosaan massal yang menargetkan perempuan etnis Tionghoa secara sistematis dan terorganisir, dengan sedikitnya 66 kasus terverifikasi di Jakarta saja. Ini bukan desas-desus, melainkan hasil investigasi yang sah dan diakui negara.

“Pernyataan Fadli Zon bukan hanya bentuk pengingkaran terhadap hasil kerja TGPF, tapi juga mengkhianati upaya panjang pencarian keadilan yang dilakukan para penyintas, keluarga korban, dan masyarakat sipil selama lebih dari dua dekade,” ucap Hendra. 

Dia menekankan bahwa luka kolektif akibat kekerasan berbasis etnis dan gender pada Mei 1998 masih belum pulih, dan komentar semacam ini justru memperparah trauma yang belum sembuh.

Hendra juga menyoroti pentingnya mengingat sejarah sebagai langkah krusial untuk mencegah berulangnya kekerasan serupa di masa depan.

 “Menyangkal sejarah sama saja dengan menghapus pelajaran penting yang bisa menyelamatkan generasi berikutnya dari siklus kebencian dan diskriminasi. Memaafkan dan melakukan rekonsiliasi tidak berarti melupakan. Justru pengakuan atas kebenaran adalah fondasi bagi keadilan yang sejati,” ujarnya.

Ia menyerukan agar Fadli Zon secara terbuka meminta maaf kepada para korban kekerasan seksual 1998 dan kepada publik luas atas pernyataannya yang dianggap mencederai martabat korban dan merusak ingatan kolektif bangsa. 

Ia juga mendesak para pejabat publik untuk bertanggung jawab menjaga integritas sejarah, bukan mengaburkan fakta demi kenyamanan politik.

“Melupakan sejarah kelam adalah bentuk kekerasan kedua terhadap para korban," ucapnya.

"Dan ketika pelaku penyangkalan adalah seorang pejabat negara, maka itu bukan sekadar kekhilafan—melainkan ancaman serius bagi demokrasi, kemanusiaan, dan keadilan,” pungkasnya.

Sebelumnya, saat siniar bersama jurnalis senior Uni Lubis, Fadli Zon menjawab pertanyaan mengapa peristiwa kekerasan terhadap perempuan dalam tragedi Mei 1998 tidak dimasukkan dalam proyek buku tersebut.

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan