Rabu, 3 September 2025

DPR Bakal Revisi UU Pemilu Sikapi Putusan MK Soal Pemilihan Umum 2029 Tidak Serentak

Komisi II DPR RI bakal bakal segera menindak lanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait proses Pemilu dan Pilkada 2029 tak digelar serentak.

Tribunnews.com/Mario Christian Sumampaow
UU PEMILU - Ketua Komisi II DPR RI, M Rifqinizamy Karsayuda di Jakarta Selatan, Jumat (20/12/2024). Komisi II DPR RI bakal bakal segera menindak lanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait proses Pemilu dan Pilkada 2029 tak digelar serentak. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi II DPR RI bakal bakal segera menindak lanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait proses Pemilu dan Pilkada 2029 tak digelar serentak.

Komisi II DPR akan menuangkannya dalam revisi Undang-Undang Pemilu.

"Hal tersebut tentu akan menjadi bagian penting untuk kami menyusun revisi Undang-Undang Pemilu yang akan datang," kata Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda saat dihubungi, Kamis (26/6/2025)

Lebih lanjut, Rifqi mengatakan mereka harus mencari tahu bagaimana formula yang tepat untuk menghadirkan norma baru dari Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 ke dalam Undang-Undang Pemilu.

Satu hal yang jadi sorotan DPR adalah bagaimana kekosongan jabatan dalam parlemen daerah yang masa kepemimpinannya selesai di tahun 2029.

Baca juga: Anggota DPRD Saat Ini Berpeluang Menjabat Lebih Dari 5 Tahun Buntut Putusan MK Soal Pemilu

Mengingat di satu sisi, jika mengikuti Putusan MK, proses pencoblosan untuk anggota DPRD baru dapat dilakukan minimal 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pelantikan Presiden, DPR, dan DPRD.

"Secara asumtif Pemilunya baru bisa dilaksanakan pada tahun 2031, jeda waktu 2029 sampai 2031 untuk DPRD provinsi, kabupaten, kota termasuk untuk jabatan gubernur, bupati, walikota itu kan harus ada norma transisi," ujar Rifqi.

"Kalau bagi pejabat gubernur, bupati, walikota kita bisa tunjuk penjabat seperti yang kemarin. Tetapi untuk anggota DPRD, satu-satunya cara adalah dengan cara kita memperpanjang masa jabatan," ujarnya.

Baca juga: MK: Pemilu-Pilkada Serentak Jadi Penyebab Politik Transaksional di Tubuh Parpol

Sebagai informasi, ke depan, pemilu akan dibagi menjadi dua tahap pemilu nasional dan pemilu lokal (daerah) dengan jeda minimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.

Secara teknis, pemilu nasional akan mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI.

Sementara itu, pemilu lokal akan mencakup pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Kini, MK menyatakan norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa:

"Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota."

Dengan pemaknaan tersebut, MK menegaskan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada secara serentak tidak bisa lagi dilakukan dalam satu waktu bersamaan.

Norma-norma lain terkait model penyelenggaraan pemilu ke depan pun harus disesuaikan dengan makna tersebut.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan