Kontroversi Somasi TPDI kepada Wapres Gibran Dinilai Tidak Tepat Secara Konstitusional
Somasi yang dilayangkan TPDI dan Advokat Perekat Nusantara menuding keberadaan Gibran sebagai Wakil Presiden mendelegitimasi pemerintahan hasil Pemilu
Penulis:
Facundo Chrysnha Pradipha
Editor:
Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Somasi yang dilayangkan oleh Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Advokat Perekat Nusantara kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk mengundurkan diri dari jabatannya dalam waktu tujuh hari memicu kontroversi.
Somasi yang dirilis pada 2 Juli 2025, menuai kritik keras dari berbagai pihak, salah satunya dari Tim Hukum Merah Putih.
Koordinator Tim Hukum Merah Putih, C. Suhadi, menyebut langkah tersebut "janggal, tidak tepat, bahkan nyeleneh" karena tidak sesuai dengan hukum ketatanegaraan.
Menurut Suhadi, kedudukan Wakil Presiden diatur dalam konstitusi, khususnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bukan hukum perdata yang menjadi dasar somasi.
"Permintaan dari para advokat yang menggunakan atribut somasi menurut hukum sangat janggal dan tidak tepat. Kedudukan Wakil Presiden tidak lahir dari produk hukum perikatan seperti diatur dalam hukum perdata, melainkan diatur dalam konstitusi," tegas Suhadi pafa Tribunnews, Minggu (6/5/2025).
Suhadi menjelaskan, UUD 1945, khususnya Pasal 7A, hanya mengizinkan Presiden atau Wakil Presiden diminta mundur jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat, seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya.
Ia menekankan kata "terbukti" dalam konteks ini harus melalui proses hukum yang menghasilkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
"Sebelum adanya putusan pengadilan, segala bentuk narasi seperti korupsi atau perbuatan tercela tidak boleh menjadi ukuran seorang Wapres diminta mundur," tambahnya.
Somasi yang dilayangkan TPDI dan Advokat Perekat Nusantara menuding keberadaan Gibran sebagai Wakil Presiden periode 2024-2029 menurutnya telah mendelegitimasi pemerintahan hasil Pemilu 2024 dan mencoreng sejarah demokrasi Indonesia.
Mereka merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023, yang dianggap cacat hukum karena pelanggaran etik oleh hakim konstitusi, termasuk pemberhentian Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.
TPDI juga menyebut akun media sosial "Fufufafa" yang diduga terkait Gibran sebagai salah satu alasan desakan pengunduran diri.
Baca juga: Surat Pemakzulan Gibran Tak Kunjung Dibacakan di DPR, Analis: Tunggu Momentum, Harus Ada Follow-up
Namun, Suhadi menegaskan pelantikan Gibran oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2024 telah menutup ruang keberatan hukum terkait Pemilu.
"Dengan telah dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden, maka segala tahapan Pemilu termasuk sengketa Pemilu sudah selesai dan final, sehingga bentuk-bentuk keberatan sudah tidak ada lagi," ujarnya.
Reaksi Publik dan Langkah TPDI
Somasi ini bukanlah kali pertama Gibran didesak mundur.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.