Sabtu, 6 September 2025

UU Pemilu

Hakim MK Kritik Sistem Pemilu Proporsional Terbuka, Sebut Hambat Keterwakilan Perempuan di DPR

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menilai sistem Pemilu proporsional terbuka menjadi satu penyebab rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen.

Tribunnews.com/ Rizki Sandi Saputra
HAKIM MK - Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI Arief Hidayat saat memimpin sidang sengketa Pilgub Maluku Utara di ruang Panel 3, Gedung MK, Jumat (10/1/2025). Ia menilai sistem Pemilu proporsional terbuka menjadi satu penyebab rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi Arief Hidayat menilai sistem Pemilu proporsional terbuka menjadi satu penyebab rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen.

Hal itu ia sampaikan dalam sidang uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Selasa (8/7/2025).

Menurut Arief, afirmasi keterwakilan perempuan sebenarnya sudah dimulai sejak regulasi partai politik, termasuk dalam pencalonan anggota legislatif.

Namun, sistem pemilu yang digunakan saat ini membuat afirmasi tersebut tidak efektif.

“Mulai dari Undang-Undang Partai Politik itu sebenarnya sudah ada afirmatif kan 30 persen perempuan. Kemudian dalam pencalonan juga sudah mulai ada afirmasi 30 persen," kata Arief di ruang sidang Gedung MK, Jakarta.

Baca juga: Rapat Anggota DPR Kerap di Hotel Mewah, Advokat Gugat UU MD3

"Tapi yang jadi masalah kan begini, sistem pemilihan Pemilunya itu proporsional terbuka, jadi percuma saja,” lanjut dia.

Ia menilai, sistem proporsional terbuka menyebabkan masyarakat bebas memilih calon legislatif, yang dalam praktiknya lebih banyak jatuh kepada laki-laki.

Padahal, sebagaimana keterangan ahli dalam sidang, mayoritas pemilih di Indonesia adalah perempuan.

Baca juga: RUU PPRT dan Revisi UU MD3 Jadi Prioritas Baleg DPR 

“Kenapa kok enggak milih perempuannya? Karena masyarakat kita masih patriarki. Jadi kalau mau direkayasa afirmatif, mestinya juga sistem Pemilunya direkayasa juga," ujarnya.

Arief menyarankan agar sistem pemilu ke depan juga mempertimbangkan rekayasa afirmatif dalam bentuk yang lebih menyeluruh.

Ia mencontohkan sistem proporsional tertutup, di mana daftar caleg disusun partai dan disesuaikan dengan ketentuan afirmasi.

Pernyataan Arief disampaikan dalam sidang lanjutan perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024, yang diajukan sejumlah pemohon untuk menguji konstitusionalitas norma dalam UU MD3 terkait keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dewan.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan