Koalisi Sipil Desak DPR Bentuk UU Kehutanan Baru yang Adil dan Lindungi Ekosistem Hutan
Mereka sepakat bahwa UU Kehutanan yang berlaku selama lebih dari dua dekade tidak hanya gagal melindungi hutan.
Penulis:
Aisyah Nursyamsi
Editor:
Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan revisi Undang-Undang Kehutanan (UU Nomor 41 Tahun 1999) yang sedang berlangsung di Komisi IV DPR RI pada pertengahan tahun 2025 menuai sorotan tajam dari berbagai organisasi masyarakat sipil.
Koalisi lintas organisasi ini menilai UU lama sudah tidak relevan dengan kondisi kehutanan nasional saat ini dan mendesak pembentukan undang-undang baru yang adil serta berpihak pada kelestarian ekosistem dan hak masyarakat adat.
Koalisi tersebut terdiri dari organisasi seperti WALHI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Forest Watch Indonesia, Greenpeace Indonesia, HuMa, Women Research Institute, Madani Berkelanjutan, dan Kaoem Telapak.
Mereka sepakat bahwa UU Kehutanan yang berlaku selama lebih dari dua dekade tidak hanya gagal melindungi hutan.
Tapi juga telah memperkuat praktik eksploitasi yang mengabaikan keberadaan masyarakat adat serta prinsip keberlanjutan lingkungan.
Hutan Bukan Sekadar Aset Negara
Selama ini, kebijakan pengelolaan hutan dalam UU No. 41/1999 dinilai menempatkan hutan sebagai komoditas ekonomi semata.
Hal ini menyebabkan konflik tenurial, pengabaian hak masyarakat lokal, serta deforestasi yang masih terus berlangsung meski ada moratorium izin baru di kawasan hutan dan gambut.
“Karena itu koalisi berpendapat bahwa UU Kehutanan No.41/1999 sudah tidak layak lagi dipertahankan,” ujar Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia pada keterangannya, Selasa (15/7/2025).
Anggi menambahkan secara filosofis, UU lama telah menafsirkan hak menguasai negara atas hutan secara keliru.
Secara sosiologis, undang-undang tersebut mengabaikan pemaknaan hutan dalam kacamata sosio-kultural masyarakat lokal.
Sedangkan secara yuridis, UU Kehutanan telah terlalu sering diubah sehingga substansinya menjadi tumpang tindih.
Ketimpangan Akses dan Ancaman Deforestasi
Koalisi menilai dalam praktiknya selama ini negara lebih banyak memberikan akses kepada korporasi daripada masyarakat yang tinggal dan bergantung langsung pada hutan.
Padahal keberadaan masyarakat adat dan petani hutan tidak bisa dipisahkan dari kelestarian ekosistem.
“Pengalaman WALHI mendampingi 1,5 juta hektare yang tumpang tindih wilayah kelola hutan rakyat, hanya 16 persen yang mendapat pengakuan sepanjang sepuluh tahun,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.
Hal senada juga diungkapkan oleh Refki Saputra dari Greenpeace Indonesia.
Menurutnya pendekatan negara yang melihat hutan sebagai sumber pendapatan justru melanggengkan praktik deforestasi yang mengancam jutaan hektare kawasan hutan alam di Indonesia.
“Sudah saatnya UU Kehutanan yang baru menghentikan praktik ‘monetisasi hutan’ dan menyelamatkan 90,7 juta hektar hutan alam tersisa, memihak pada masyarakat adat, perlindungan biodiversitas dan iklim,” kata Refki.
Ia juga mencatat bahwa kebijakan moratorium izin di hutan dan lahan gambut belum cukup kuat.
Buktinya, masih ditemukan deforestasi di area yang sudah dimoratorium, dengan kehilangan 39 ribu hektare hutan alam hanya dalam tahun 2024.
Dari Rezim Pengurusan ke Pengelolaan
Dalam usulannya, Erwin Dwi Kristianto dari HuMa mengusulkan tiga pilar penting dalam UU Kehutanan baru.
Yaitu transisi dari rezim pengurusan ke pengelolaan, pengakuan hutan adat sebagai bagian dari pengukuhan kawasan hutan, dan pemulihan hutan yang rusak.
“Negara semestinya cukup mengelola saja, tidak menguasai tanah. Yang terjadi sekarang adalah negara mengurusi kawasan hutan, tapi tidak mengurus hutannya. Hutan-hutan yang gundul, tidak ada pohonnya, dianggap masuk kawasan hutan,” ujarnya.
Sementara akademisi kehutanan Dr. Eko Cahyono, M.Si, menggarisbawahi pentingnya menyelaraskan kebijakan kehutanan dengan tujuan konstitusi, yaitu keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
“Koreksi fundamental atas regulasi dan kebijakan kehutanan niscaya dilakukan untuk mengembalikan mandat konstitusional dan meluruskan salah asuh negara atas hutan Indonesia,” kata Eko.
Tak Ramah Iklim dan Abaikan Perempuan
Koalisi juga menilai bahwa UU Kehutanan lama belum menjawab tantangan perubahan iklim dan keadilan gender.
Sadam Afian Richwanudin dari Yayasan MADANI Berkelanjutan menyebut bahwa regulasi ini tidak relevan karena tidak memasukkan agenda perubahan iklim, padahal Indonesia sudah meratifikasi Paris Agreement sejak 2016.
“Maka kami merasa bahwa undang-undang yang baru ini perlu disesuaikan. Terlebih kita menghadapi persoalan iklim yang sangat pelik, krisis iklim yang kita rasakan saat ini,” kata Sadam.
Ia juga menyoroti kecenderungan pemerintah memberikan perlakuan istimewa kepada proyek strategis nasional yang membuka hutan, meskipun bertentangan dengan komitmen penurunan emisi.
“Maka, kenapa tidak dibalik, sektor perhutanan mungkin bisa membuat aturan bahwa hutan alam tidak boleh dibuka untuk apa pun,” ujarnya.
Dari sisi gender, Sita Aripurnami dari Women Research Institute mengingatkan bahwa kriminalisasi terhadap masyarakat adat berdampak langsung pada perempuan.
Banyak dari mereka harus mengambil peran sebagai kepala keluarga ketika para laki-laki dikriminalisasi karena mempertahankan ruang hidupnya.
“Oleh karenanya, kami setuju UU Kehutanan yang lama harus dicabut. Dan UU yang baru wajib menyertakan klausul kesetaraan gender, partisipasi bermakna perempuan dan perlindungan kelompok rentan serta kewajiban pengumpulan data terpilah, penyediaan mekanisme afirmatif dan pelibatan perempuan dalam semua tahap kebijakan kehutanan,” katanya.
Rekomendasi: Hentikan Revisi, Bentuk UU Baru
Koalisi menyatakan bahwa UU No. 41/1999 tidak berhasil mencapai tujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara adil dan berkelanjutan.
Mereka merekomendasikan agar proses revisi keempat atas UU lama dihentikan.
Sebagai gantinya, Koalisi meminta DPR RI membentuk UU Kehutanan baru yang proses penyusunannya melibatkan partisipasi publik secara bermakna, sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU/XVIII/2020.
Pembaruan UU Kehutanan dinilai penting bukan hanya untuk perlindungan lingkungan, tetapi juga sebagai bentuk koreksi atas kesalahan historis tata kelola hutan di Indonesia sejak era kolonial hingga kini.
Koalisi berharap undang-undang baru nantinya menjadi dasar kebijakan kehutanan yang berpihak pada keadilan ekologis, keberlanjutan, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat.
Mengenal Abolisi, Permohonan yang Diajukan Prabowo untuk Tom Lembong, Sudah Disetujui DPR RI |
![]() |
---|
VIDEO WAWANCARA EKSLUSIF Dinamika Politik Mengancam RUU KUHAP: Ketua Komisi III Tak Lagi Optimis |
![]() |
---|
Ibas Ajak GKSB Meksiko Perkuat Komitmen pada Kedaulatan dan Kemanusiaan |
![]() |
---|
Marwan Cik Asan Soroti Kredit UMKM Masih Lesu, Dorong Pemerintah Ambil Langkah Tegas |
![]() |
---|
PDI Perjuangan Gelar Bimbingan Teknis di Bali 30 Juli 2025, Anggota Fraksi Se-Indonesia Wajib hadir |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.