Sabtu, 13 September 2025

Pimpinan Komisi X DPR Dorong Rancangan Kurikulum Antipencabulan di Sekolah dan Pesantren

Lalu Hadrian Irfani, mendorong penyusunan kurikulum khusus untuk mencegah tindak pencabulan di sekolah dan pesantren. 

Penulis: Chaerul Umam
Tribunnews/Fersianus Waku
KURIKULUM KHUSUS - Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani. Ia mendorong penyusunan kurikulum khusus untuk mencegah tindak pencabulan di sekolah dan pesantren.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, mendorong penyusunan kurikulum khusus untuk mencegah tindak pencabulan di sekolah dan pesantren

Lalu Hadrian Irfani adalah seorang politikus Indonesia dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Dia menilai sudah saatnya dunia pendidikan tidak hanya fokus pada aspek akademik, tetapi juga melindungi anak dari kekerasan seksual yang kian marak.

Lalu menyoroti fakta meningkatnya kasus kekerasan di lingkungan pendidikan. 

Berdasarkan data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), tercatat 573 kasus sepanjang 2024, dan 42 persen di antaranya merupakan kasus pencabulan. 

Dia juga menyoroti bahwa 36 persen dari kasus tersebut terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama, termasuk pesantren dan madrasah.

"Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak kini berubah menjadi arena teror, tempat di mana kepercayaan dilukai dan harapan dikhianati," kata Lalu, kepada wartawan Selasa (22/7/2025).

Menurutnya, banyak korban berasal dari kalangan siswa SD dan SMP, dan mirisnya, pelaku sering kali adalah guru, ustaz, atau pengasuh pesantren yang sejatinya menjadi panutan.

"Ini bukan lagi soal moral individu. Ini soal sistem. Maka, negara harus hadir dengan langkah struktural," tegasnya.

Lalu menyatakan bahwa upaya penindakan saja tidak cukup. Negara harus bergerak dengan cara sistemik, melalui kurikulum nasional yang menyentuh akar persoalan.

"Kurikulum ini harus dirancang lintas disiplin, menginspirasi rasa hormat terhadap tubuh, mengajarkan batasan, mengenalkan hak-hak anak, serta membangun keberanian untuk berkata 'tidak' terhadap pelecehan," ujarnya.

Ia mencontohkan negara-negara seperti Belanda, Jerman, dan Swedia yang telah lebih dahulu menerapkan pendidikan seksual berbasis perlindungan anak. 

Di Belanda, misalnya, program Kriebels in je buik sudah diajarkan sejak usia dini untuk membangun kesadaran tentang batas tubuh dan kepercayaan diri anak. 

Sementara di Swedia, pendidikan relasi dan seksualitas telah menjadi bagian dari kurikulum sejak 1955 dan terbukti menurunkan angka kekerasan seksual terhadap anak.

"Kita tidak bisa lagi menormalisasi kekerasan atas nama pendidikan. Kita tidak bisa diam saat tubuh dan jiwa anak-anak kita dihancurkan oleh mereka yang sejatinya harus menjadi pelindung," katanya.

Untuk itu, Lalu mengusulkan empat langkah strategis. Pertama, penyusunan kurikulum anti-pencabulan berbasis nilai budaya lokal dan ajaran agama yang rahmatan lil ‘alamin.

Kedua, pelatihan tenaga pendidik termasuk guru, pembina pesantren, dan tenaga kependidikan agar paham soal etika relasi kuasa dan sensitivitas perlindungan anak.

Ketiga, pembuatan sistem pelaporan yang aman dan berpihak pada korban, termasuk di pesantren yang selama ini tertutup dari pengawasan eksternal.

Keempat, pendirian sekolah dan pesantren percontohan sebagai zona aman (Safe School and Pesantren Zone) untuk membuktikan efektivitas pendekatan preventif.

Sebagai Ketua DPW PKB NTB, Lalu menyatakan keseriusannya untuk mendorong wacana ini agar menjadi bagian penting dari kurikulum nasional ke depan. 

Dia juga mengajak semua pihak, khususnya DPR RI dan pemerintah, untuk menjadikan pendidikan anti pencabulan sebagai agenda prioritas.

"Pendidikan yang baik bukan hanya mengajarkan prestasi, tetapi juga melindungi martabat," tandasnya.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan