UU Pemilu
Wacana Evaluasi Pilkada, Model Asimetris Diusulkan Untuk Efisiensi dan Hindari Konflik Horisontal
Ketua Bidang Organisasi IKADIP IPDN, Achmad Baidowi mengatakan, sistem pilkada langsung sudah saatnya dievaluasi.
Penulis:
Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor:
Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terus mencuat.
Wacana evaluasi ini muncul akibat pelaksanaan pilkada menyedot anggaran yang cukup besar dan juga menimbulkan konflik horisontal.
Selain itu, pelaksanaan pemerintahan di daerah kerapkali terganggu renggangnya hubungan antara kepala daerah dan wakilnya.
Alumni Doktoral Ilmu Pemerintahan IPDN pun merespons memberikan tanggapan atas wacana tersebut.
Ketua Bidang Organisasi Ikatan Alumni Doktor Ilmu Pemerintahan (IKADIP) IPDN, Achmad Baidowi mengatakan, sistem pilkada langsung sudah saatnya dievaluasi.
Menurut dia, keprihatinan dari Presiden Prabowo Subianto atas imbas pelaksanaan Pilkada sangatlah logis.
Menurut dia, anggaran negara yang digunakan untuk pelaksanaan pilkada mencapai Rp41 triliun. Belum lagi, biaya politik yang dikeluarkan masing-masing kandidat.
"Melihat dari aspek anggaran, cukuplah besar. Jika sistemnya disederhanakan, maka akan terjadi penghematan. Sehingga anggarannya bisa dialokasikan untuk pembangunan," kata Achmad Baidowi, Senin (28/7/2025).
Awiek, sapaan akrabnya, dalam konstitusi yakni UUD 1945 tidak ada perintah pelaksanaan pilkada secara langsung.
Dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) dipilih secara demokratis.
"Penekanannya adalah demokratis. Nah, demokratis itu tidak harus bermakna langsung. Toh, dalam Pancasila sila ke 4 disebutkan musyawarah perwakilan," tegasnya.
Mantan Wakil Ketua Baleg DPR RI ini, mengusulkan pelaksanaan pilkada dengan mixsystem, atau yang biasa dikenal sistem asimetris. Yakni, pilkada bisa dikombinasikan sistem langsung dan sistem tidak langsung melalui pemiliham oleh DPRD.
"Bisa saja gubernur dan wakil gubernur dipilih oleh DPRD sedangkan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota dipilih secara langsung, atau bisa juga dibalik," terangnya.
Sistem asimetris ini bukanlah hal yang dilarang, setidaknya sudah dilakukan di dua provinsi yakni, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Keduanya diatur oleh Undang-undangan tersendiri yang berbeda dengan provinsi lainnya.
Mengenai kekhususan ini, sudah ada dasar konstitusinya yakni UUD 1945 Pasal 18B ayat 1 yang berbunyi, ‘Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, yang diatur dengan undang-undang.’
Awiek, melanjutkan, jika menggunakan sistem asimetris, maka terjadi efisiensi penggunaan anggaran negara serta mengurangi konflik horisontal.
Baca juga: Ribka Tjiptaning Sebut Hasto Kristiyanto Divonis Bersalah karena DPP PDIP Tidak Kompak
"Pilkada itu hanyalah sarana untuk memilih pemimpin. Sedangkan tujuan demokrasi adalah untuk menciptakan kesejahretaan rakyat. Maka, jika anggaran pilkada bisa dialihkan untuk pembangunan, kesejahteraan rakyat akan mudah tercapai," tandas mantan Sekretaris F-PPP DPR ini.
UU Pemilu
Usulkan Pilkada Dipilih DPRD Provinsi, Cak Imin Bantah Disebut Ingin Menyenangkan Prabowo |
---|
Gugat Ambang Batas Parlemen ke MK, Partai Buruh Bawa Data Jutaan Suara Terbuang |
---|
Arteria Dahlan Usul Seluruh Hakim MK Dilaporkan ke Polisi Buntut Hapus Pemilu Serentak |
---|
Mahfud MD Sebut Putusan MK yang Berujung Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Inkonstitusional, Tapi Final |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.