UU Pemilu
Kosgoro 1957: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Timbulkan Dilema Konstitusional
Agung Laksono mengungkapkan adanya kegelisahan publik terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru terkait Pemilu.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Majelis Pertimbangan Organisasai (MPO) Kosgoro 1957 HR Agung Laksono mengungkapkan adanya kegelisahan publik terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru terkait Pemilu.
Putusan MK tersebut menurutnya menimbulkan kebingungan dan dilema konstitusional yang serius.
Hal itu tidak hanya bagi penyelenggara pemilu tetapi juga bagi masyarakat dan pembuat kebijakan.
"Kalau dilaksanakan bisa melanggar konstitusi, tapi kalau tidak dilaksanakan juga bisa melanggar konstitusi. Tentu putusan itu harus kita sikap secara konstruktif dan dewasa," kata Agung dalam sambutannya di Diskusi Publik dengan tema Menata Ulang Konsep Keserentakan Pemilu, Solusi Legislasi Putusan MK 135/PUU-XXII/ 2024 di Jakarta, Jumat (18/7/2025).
Agung mengatakan diskusi yang diselenggarakan Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957 (IBI-K57) dengan Kosgoro 1957 untuk mencari solusi terbaik.
"Hasil pemikiran ini tentu akan si sampaikan kepada kader Kosgoro 1957 yang menjadi anggota DPR RI dan pengurus di daerah, termasuk juga ke Partai politik," ujarnya.
Mantan Menkokesra ini juga berharap putusan-putusan MK bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.
"Keputusan MK harus bisa memperkuat NKRI," tegasnya.
Sementara Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI 2024-2029 Rambe Kamarul Zaman berharap jangan sampai terjadi kesalahpahaman politik atas putusan MK 135 ini.
"Karena tak boleh DPRD-nya kosong, kalau gubernur atau wakil masih boleh," kata dia.
Dia menyebutkan dari pendapat yang berkembang saat ini munculnya pendapat dan sikap dikarenakan alasan prinsip. Perbedaan penafsiran akan pasal 22 E ayat (1) dan (2) Bab VII B, dan harus disatukan dengan pasal 18 ayat (3) dan (4) UUD NRI Tahun 1945. Sebab, dengan berbeda penafsiran, dianggap putusan MK 135 Tahun 2024 tidak sesuai ketentuan konstitusi.
"Jika ditindaklanjuti oleh DPR RI, akan pula merasa tindak lanjut tersebut harus mengabaikan perbedaan penafsiran yang sangat prinsip ini yang tentu implikasinya menjadi panjang dan rumit. Sebab, untuk tindak lanjut harus melakukan perubahan terlebih dahulu UUD NRI Tahun 1945, apakah perubahan terbatas atau tidak," jelasnya.
Bagi MPR, kata Rambe, sesuai pasal 3 ayat (1) bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD yang pada intinya dapat atau punya kewenangan menafsirkan pasal-pasal UUD tersebut, agar segera melakukan konsultasi (sesuai Tatib) MPR pasal 26, bahwa Pimpinan MPR, berwenang: mengadakan konsultasi dan koordinasi dengan Presiden dan/atau Pimpinan Lembaga Negara lainnya dalam rangka pelaksanaan wewenang dan tugas MPR, serta mengundang pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok DPD untuk mengadakan rapat gabungan.
Konsultasi juga dilakukan kepada yang dianggap perlu atas hal tersebut, agar tidak menjadi dan mengarah pada sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
"Hal mana sengketa kewenangan tersebut diputus oleh MK sendiri. Untuk kita ketahui pula bahwa yang membatalkan putusan MK adalah MK sendiri. Namun jika seandainya kita taat pada keputusan MK tersebut bahwa dalam menata ulang konsep keserentakan pemilu, solusi legislasi pasca putusan MK tersebut dapat dilakukan dengan prinsip mengikuti putusan-putusan MK yang tidak bertentangan dengan konstitusi," tuturnya.
UU Pemilu
Wacana Evaluasi Pilkada, Model Asimetris Diusulkan Untuk Efisiensi dan Hindari Konflik Horisontal |
---|
Arteria Dahlan Usul Seluruh Hakim MK Dilaporkan ke Polisi Buntut Hapus Pemilu Serentak |
---|
Mahfud MD Sebut Putusan MK yang Berujung Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Inkonstitusional, Tapi Final |
---|
Singgung Evaluasi Total Pemilu, Cak Imin Dukung Pilkada Dipilih DPRD |
---|
Wamendagri: Efisiensi Dalam RUU Pemilu Jangan Sampai Mengorbankan Substansi Demokrasi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.