Rabu, 17 September 2025

Generasi Muda Pembaharu Soroti Meningkatnya Tindakan Intoleransi di Indonesia

GEMPAR Indonesia mengecam keras peristiwa pembubaran paksa kegiatan ibadah di sebuah Rumah Doa di Padang Sumatera Barat.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
Tangkapan layar video Instagram @infosumbar
Warga merusak sebuah rumah doa yang juga dijadikan tempat pendidikan bagi siswa Kristen milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Padang, Sumatera Barat, Minggu (27/7/2025) sore. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Generasi Muda Pembaharu Indonesia (GEMPAR Indonesia) mengecam keras peristiwa pembubaran paksa kegiatan ibadah di sebuah Rumah Doa di Koto Tangah Padang, Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Minggu (27/7/2025).

Ketua Umum GEMPAR Indonesia, Yohanes Sirait mengungkapkan, peristiwa tersebut menambah daftar panjang kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia dan menunjukkan kemunduran dalam penegakan kebebasan beragama dan berkeyakinan. 

Sepanjang sembilan bulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, GEMPAR Indonesia mencatat telah terjadi setidaknya 16 kali peristiwa intoleransi berbasis agama. 

Insiden ini bervariasi mulai dari penolakan pendirian rumah ibadah, persekusi dan pembubaran kegiatan ibadah, hingga teror ancaman bom di tempat ibadah. 

"Peristiwa di Padang adalah bukti nyata bahwa negara masih belum sepenuhnya hadir untuk melindungi hak konstitusional setiap warganya," kata Yohanes dalam keterangannya, Selasa (29/7/2025).

GEMPAR melihat, aktor utama di balik regresi ini adalah kombinasi dari aktor non-negara (ormas keagamaan, kelompok warga) yang agresif dan aktor negara (pemerintah daerah, kepolisian) yang permisif atau melakukan pembiaran atas peristiwa ini. 

Misalnya, kasus pelarangan ibadah Natal di Cibinong (Desember 2024) menunjukkan peran aparat keamanan yang lebih memilih "mediasi" yang merugikan korban demi menjaga "kondusifitas", alih-alih menegakkan hak konstitusional untuk beribadah. 

Sementara itu, konflik pendirian gereja di Cirebon (November 2024) memperlihatkan bagaimana Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di banyak daerah telah beralih fungsi dari fasilitator menjadi penghambat, yang secara efektif memberikan hak veto kepada kelompok mayoritas penolak.

”Karena itu GEMPAR mendesak adanya tindakan segera dan komprehensif. Kami meminta Presiden Prabowo Subianto untuk menunjukkan kepemimpinan politik yang tegas dalam melindungi semua warga negara, mengintegrasikan pemajuan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan ke dalam agenda prioritas pembangunan nasional, dan memimpin reformasi hukum yang fundamental,” ucap Yohanes.

Lebih lanjut, GEMPAR Indonesia meyakini bahwa Presiden Prabowo Subianto memiliki komitmen yang sangat kuat terhadap penegakan konstitusi, terutama Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 

Visi kebangsaan dan dukungan Presiden Prabowo terhadap kebebasan beragama sangat jelas.

"Kami melihat Presiden sangat konsen terhadap isu-isu fundamental seperti ini," ucapnya.

Sementara itu, Sekjen GEMPAR Indonesia, Petrus Sihombing juga meyakini di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, negara tidak akan pernah kalah oleh kelompok-kelompok intoleran. 

Baca juga: Profil Wali Kota Padang yang Sebut Perusakan Rumah Doa Bukan Karena SARA: Lulusan Amerika

"Mesin birokrasi, khususnya di sektor agama, harus berjalan selaras dengan visi besar Presiden dan cita-cita Pancasila," tandasnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan