Kamis, 25 September 2025

Banyak Pelaku TPPO Enggan Bayar Restitusi kepada Korban, LPSK Ungkap Penyebabnya

LPSK mencatat para pelaku TPPO banyak yang enggan membayar restitusi atau ganti rugi terhadap pemenuhan hak korbannya.

TRIBUNNEWS.COM/Rahmat W. Nugraha
ENGGAN BAYAR RESTITUSI -Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat adanya fenomena para pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang enggan membayar restitusi atau ganti rugi terhadap pemenuhan hak korbannya. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat adanya fenomena para pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang enggan membayar restitusi atau ganti rugi terhadap pemenuhan hak korbannya.

Padahal dalam catatan LPSK, banyak dari pelaku yang diputus oleh pidana harus membayarkan restitusi, tapi mereka justru tidak melakukan kewajibannya dan hanya berkenan untuk dihukum badan.

Baca juga: Sindikat Perdagangan Bayi Patok Harga Rp250 Juta, Puluhan Tersangka Terancam 15 Tahun Penjara

Restitusi adalah bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada korban tindak pidana oleh pelaku atau pihak ketiga, sebagai upaya untuk memulihkan kondisi korban sebelum kejahatan terjadi. 

Restitusi merupakan bagian dari sistem hukum yang berorientasi pada korban dan diatur dalam berbagai peraturan di Indonesia, termasuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2022 dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Tercatat pada 2023 dari total restitusi sebesar Rp 2.560.477.682 yang dihitung LPSK untuk para korban TPPO, hanya ada Rp22.463.000 dibayarkan para pelaku TPPO.

Sementara pada tahun 2024 tercatat dari total restitusi Rp7.377.845.925 yang dihitung LPSK untuk para korban TPPO, hanya Rp968.055.000 dibayarkan para pelaku TPPO.

"Kalau kita komparasi yang kita hitung sekian, tapi kemauan membayar masih jauh dari apa yang kita nilai," kata Ketua LPSK Achmadi saat diskusi publik bertajuk 'Menakar Peluang dan Tantangan Penegakan Hukum serta Pemulihan Korban TPPO di Indonesia' di Kantor LPSK, Jakarta, Kamis (31/7/2025).

Baca juga: Keponakan Prabowo Minta Kabareskrim Tindak Dugaan TPPO Berujung Prostitusi di IKN

Menurut Achmadi, masih mminimnya pelaku TPPO yang membayar restitusi harus menjadi sorotan setiap pihak.

Pasalnya, restitusi merupakan hak korban dan bagian dalam program pemulihan akibat segala kerugian dialami.

Padahal kata Achmadi, berdasarkan catatan LPSK dari tahun ke tahun jumlah permohonan perlindungan kasus TPPO terus meningkat, sehingga pemenuhan dan pemulihan korban merupakan hal utama.

"Beberapa tahun terakhir ada sekian ribu (pemohon perlindungan kasus TPPO). Tapi kita menyadari masih ada (korban) yang belum melapor, mengajukan permohonan kepada kita," ujar Achmadi.

Di sisi lain, Wakil Ketua LPSK Antonius Wibowo menilai  hambatan dibayarkannya restitusi dari pelaku kepada korban TPPO karena belum adanya aturan terhadap penyitaan aset pelaku untuk membayarkan ganti rugi.

Alhasil banyak dari pelaku TPPO yang memilih untuk mengganti hukuman restitusi dengan memperpanjang hukuman badan.

Tak hanya itu, persoalan selanjutnya dalam pembayaran restitusi adalah belum adanya regulasi pemberian dana abadi korban (DAK) bagi korban TPPO.

"Penyitaan aset pelaku belum berjalan maksimal. Kedua belum ada regulasi (aturan hukum) untuk korban TPPO memperoleh restitusi dari dana bantuan korban," tutur Antonius.

DAK berperan ketika pelaku tidak mampu membayarkan atau hanya sebagian dari nilai restitusi, maka pemerintah melalui LPSK dapat memberikan DAK untuk mendukung pemulihan korban.

"Maknnya tadi mendorong amandemen UU dengan hak korban memperoleh restitusi. DAK baru akan masuk di dalam KUHAP, KUHAP sekarang baru dibahas di parlemen (DPR)," tandas Antonius.

Namun, hingga kini payung hukum bagi pemberian DAK bagi korban tindak pidana baru mencakup korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS), sementara korban TPPO belum dibahas.

Dalam kesempatan ini turut hadir Ketua Umum Jaringan Nasional (Jarnas) Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo alias Sara.

Keponakan dari Presiden RI Prabowo Subianto itu mendorong dilakukannya Revisi Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Menurut dia, beleid yang mengatur soal penerapan aturan dan penegakan hukum atas TPPO ini sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.

"Ya undang-undang nomor 21 tahun 2007 adalah undang-undang tindak pidana perdagangan orang yang dimana memang sudah sangat lama, sudah tua dan perlu adanya revisi untuk bisa mengikuti dengan perubahan zaman," kata Sara saat ditemui awak media di Gedung LPSK, Jakarta, Kamis (31/7/2025).

Dimana menurut Sara, saat ini modus operandi oleh pelaku TPPO sudah makin beragam.

Bahkan kata dia, yang marak terjadi saat ini di Indonesia yakni dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi.

TPPO ini lantas kata Sara, masuk dalam tindak kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime.

"Dimana modus-modus operandi dari para pelaku itu perdagangan orang ini sudah sangat berevolusi, berubah dan kita harus menyesuaikan terutama dari segi untuk digital, untuk dunia cyber, untuk perdagangan-perdagangan seperti online scamming dan seterusnya," tutur dia.

Tak hanya itu, aturan yang eksisting saat ini di Indonesia masih tidak menitikberatkan pada rasa keadilan terhadap korban dari TPPO.

UU TPPO yang ada saat ini, menurut Sara hanya fokus pada pemberian atau penjatuhan hukuman terhadap pelaku.

"Dan tentunya bagaimana kita bisa hadir untuk korban karena undang-undang tersebut itu lebih menitikberatkan menghadirkan keadilan tapi dari segi hukuman kepada pelaku bukan kita fokus untuk korban," beber dia.

Sara meminta adanya kepastian terhadap pendekatan yang terpusat kepada korban TPPO bukan hanya pelaku atau victim-centered approach.

Sara yang juga merupakan anggota Komisi VII DPR RI ingin memastikan kalau pihaknya akan memperjuangkan suara-suara korban.

"Banyak dari mereka membutuhkan keadilan dan itu jangka panjang kita bicara bukan hanya restitusi, kita juga bicara kompensasi dari negara, kita juga bicara bagaimana untuk memastikan adanya rumah pemulihan di seluruh Indonesia untuk para korban agar mereka bisa menjadi penyintas dan bisa hidup secara produktif dan mandiri," tandas Sara.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan