Jumat, 8 Agustus 2025

Kepala BPS Jawab Keraguan Data Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen: Kan Ada Standar Internasional

BPS menanggapi sorotan sejumlah pihak yang meragukan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen

Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Taufik Ismail
PERTUMBUHAN EKONOMI - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti di komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/7/2025). BPS menanggapi sorotan sejumlah pihak yang meragukan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, menanggapi sorotan sejumlah pihak yang meragukan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen secara tahunan (yoy). 

Ia menegaskan seluruh proses penyusunan data telah mengikuti standar internasional dan didukung indikator yang kuat.

“Kan ada standar internasional,” kata Amalia di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Sejumlah pihak sebelumnya menyebut angka pertumbuhan yang dirilis BPS melesat cukup tinggi bahkan melebihi konsensus ekonom dan analis pasar. 

Namun, Amalia memastikan seluruh data pendukung yang digunakan dalam penghitungan pertumbuhan ekonomi sudah lengkap dan kredibel.

Baca juga: Sri Mulyani Jawab Keraguan soal Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen: Kita Tetap Percaya BPS

“Data-data pendukungnya sudah oke,” ujarnya.

“Sudah semua. Pendukungnya sudah mantap lah itu," sambungnya.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), menimbulkan kecurigaan adanya tekanan dari Istana.

Baca juga: Kejanggalan Pertumbuhan Ekonomi RI 5,12 Persen: Ada Telepon Langsung dari Istana ke Kantor BPS?

Pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan kapasitas suatu negara dalam memproduksi barang dan jasa selama periode waktu tertentu. 

Ini biasanya diukur melalui Produk Domestik Bruto (PDB) atau pendapatan nasional riil, dan mencerminkan seberapa besar aktivitas ekonomi meningkat dari tahun ke tahun.

Ciri-ciri pertumbuhan ekonomi ditandai naiknya pendapatan nasional dan pendapatan per kapita, bertambahnya produksi barang dan jasa, berkurangnya tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta meningkatnya daya beli masyarakat.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, angka pertumbuhan ekonomi yang diumumkan BPS menantang konsensus suram yang telah disuarakan hampir seluruh lembaga kredibel, dari IMF dan Bank Dunia yang memproyeksikan di kisaran 4,7-4,8 persen, hingga para ekonom domestik yang melihat langsung lesunya denyut nadi perekonomian.

Adapun rinciannya, Dana Moneter Internasional (IMF), dalam laporan World Economic Outlook Update edisi Juli 2025, memproyeksikan angka 4,8 persen. 

Senada dengan itu, Bank Dunia melalui Global Economic Prospects edisi Juni 2025 bahkan memberikan estimasi yang lebih konservatif di angka 4,7 persen. 

Dari dalam negeri, Bank Indonesia memberikan rentang proyeksi antara 4,7 persen hingga 5,1 persen, di mana angka realisasi BPS justru melampaui batas atas skenario paling optimis sekalipun. 

Pemerintah sendiri, melalui Kementerian Keuangan, menargetkan pertumbuhan di kisaran 5,0 persen dalam asumsi APBN. 

Sementara itu, lembaga riset independen seperti INDEF dan LPEM FEB UI juga memberikan proyeksi yang jauh di bawah realisasi, masing-masing di angka 4,8 persen-4,95 persen. 

"Konsensus yang solid ini menunjukkan bahwa para analis, baik global maupun domestik, melihat sinyal pelemahan yang nyata, sebuah sinyal yang tampaknya diabaikan oleh angka tunggal BPS," kata Achmad kepada Tribun, Rabu (6/8/2025).

Menurutnya, narasi resmi BPS yang coba dibangun bahwa sebuah "tsunami fiskal" dari belanja pemerintah mampu menjadi penyelamat tunggal, terdengar simplistis dan tidak memadai. 

Ia menyebut, atas hal itu muncul pertanyaan fundamental yang kini menggantung di benak publik adalah, benarkah daya ungkit belanja pemerintah sedahsyat itu hingga mampu meniadakan dampak gabungan dari lesunya konsumsi, mandeknya investasi swasta, dan anjloknya ekspor.

"Kecurigaan yang beralasan ini secara sah membuka kembali kotak pandora yang selama ini coba ditutup rapat. Kemungkinan adanya kelemahan fundamental dalam metodologi BPS, baik yang terjadi karena ketidaksengajaan maupun kesengajaan," ucapnya.

Ada Intervensi dari Istana?

Achmad menyampaikan, keraguan publik terhadap anomali data ini mengerucut pada dua kemungkinan yang sama-sama meresahkan, yang harus dibedah dengan nalar kritis.

Opsi pertama adalah kemungkinan adanya inkompetensi dan kesalahan metodologis yang tidak disengaja. 

"Kita harus berani bertanya, apakah metodologi BPS, yang mungkin dirancang untuk struktur ekonomi beberapa dekade lalu, masih relevan?" ucapnya.

Menurutnya, ekonomi telah bertransformasi secara drastis. 

Bagaimana BPS menangkap nilai tambah dari jutaan pelaku ekonomi digital, gig workers, atau transaksi e-commerce lintas batas yang tidak tercatat dalam survei konvensional. 

Bisa jadi, Achmad menyebut, kerangka survei dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang ada saat ini memiliki kelemahan inheren. 

Ia mungkin memberikan bobot yang berlebihan (over-represent) pada sektor-sektor yang datanya mudah didapat dari laporan administratif pemerintah, seperti konstruksi proyek negara dan belanja aparatur. 

Sebaliknya, ia secara signifikan meremehkan (under-represent) dinamika sektor swasta, UMKM, dan sektor informal yang justru sedang berjuang paling keras. 

Jika ini masalahnya, maka angka 5,12 persen adalah produk dari sebuah sistem pengukuran yang usang atau cacat, yang menghasilkan potret ekonomi yang terdistorsi, indah di permukaan namun keropos di dalam.

Opsi kedua, Achmad menyampaikan, yang lebih suram dan menakutkan adalah adanya intervensi dan manipulasi data yang disengaja. 

"Ini adalah sebuah kemungkinan yang tidak bisa lagi dikesampingkan dalam iklim politik yang penuh tekanan, di mana angka menjadi segalanya," tutur Achmad.

Ia melihat, angka pertumbuhan ekonomi bukan lagi sekadar statistik, ia adalah rapor politik, komoditas pencitraan, dan justifikasi kebijakan. 

Sehingga, kata Achmad, ketika sebuah rezim menempatkan legitimasi dan citra keberhasilannya pada angka-angka tertentu, maka independensi lembaga statistik seperti BPS berada di bawah ancaman terbesar. 

"Pertanyaan mengenai adanya "pesanan" atau intervensi untuk "memoles" data agar terlihat baik menjadi sebuah keniscayaan," tuturnya.

"Kita tidak perlu bukti adanya telepon langsung dari Istana ke kantor BPS," sambung Achmad.

Lebih lanjut Ia mengatakan, tekanan bisa datang secara halus melalui alokasi anggaran, pemilihan pimpinan, atau sekadar "pemahaman" tak tertulis bahwa data yang "baik" akan membuat semua pihak senang. 

"Angka yang melenceng jauh dari semua perkiraan bisa menjadi indikasi adanya upaya sistematis untuk merekayasa realita demi kepentingan politik sesaat, dengan mengorbankan kebenaran dan kredibilitas jangka panjang," paparnya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan