RUU KUHAP
Komisi III DPR Akan Undang KPK hingga BEM Bahas RUU KUHAP
Komisi III bakal undang KPK, dosen, Komnas Ham dan BEM minta masukan soal RUU KUHAP guna pastikan KUHAP baru tidak lemahkan pemberantasan korupsi.
Penulis:
Fersianus Waku
Editor:
Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman mengatakan, pihaknya akan mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kelompok lainnya untuk meminta masukan terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP.
"Terkait KUHAP komisi III akan mengundang sejumlah pihak di antaranya KPK, Lokataru, Dosen Gandjar Bondan, Kemenham, Komnas HAM, sejumlah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan banyak elemen masyarakat lain untuk meminta masukan," kata Habiburokhman kepada wartawan, Selasa (19/8/2025).
Habiburokhman menegaskan, Komisi III DPR ingin memastikan KUHAP baru tidak melemahkan pemberantasan korupsi.
"Pendeknya, lebih baik tidak ada KUHAP baru kalau sampai melemahkan pemberantasan korupsi," ujarnya.
Selain itu, kata dia, Komisi III DPR akan melakukan kunjungan kerja ke beberapa daerah untuk menyerap aspirasi masyarakat.
Baca juga: Abraham Samad Sebut RUU KUHAP Akan Mempersulit KPK Berantas Korupsi
DPR dan pemerintah diketahui telah merampungkan pembahasan 1.676 daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KUHAP hanya dalam dua hari.
Pembahasan dilakukan oleh Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP dimulai Rabu (9/7/2025) dan selesai Kamis (10/7/2025).
Sebelumnya, KPK telah secara resmi mengirim surat kepada Presiden Prabowo Subianto dan pimpinan DPR untuk meminta audiensi terkait RUU KUHAP.
KPK menyebut setidaknya terdapat 17 poin krusial dalam draf RKUHAP yang dinilai tidak sinkron dan berpotensi melemahkan independensi serta efektivitas kerja lembaga tersebut dalam pemberantasan korupsi.
Baca juga: Habiburokhman Bantah Pernyataan KPK yang Sebut Penyelidik dalam RUU KUHAP Hanya Berasal dari Polri
Berikut adalah daftar 17 poin catatan kritis KPK terhadap RUU KUHAP:
1. Ancaman terhadap Asas Lex Specialis: Kewenangan khusus penyelidik dan penyidik KPK yang dijamin UU KPK dan putusan MK berpotensi dianggap bertentangan dengan RKUHAP karena adanya norma "...sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini".
2. Keberlanjutan Penanganan Perkara: Pasal peralihan RKUHAP dapat memaksa penanganan perkara korupsi oleh KPK hanya berpedoman pada KUHAP, mengabaikan hukum acara khusus dalam UU Tipikor dan UU KPK.
3. Penyelidik KPK Tidak Diakomodir: RKUHAP menyebut penyelidik hanya berasal dari Polri, menafikan kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidiknya sendiri.
4. Penyempitan Definisi Penyelidikan: RKUHAP membatasi penyelidikan hanya untuk "mencari peristiwa pidana", padahal penyelidikan KPK sudah sampai pada tahap menemukan minimal dua alat bukti.
5. Devaluasi Keterangan Saksi di Tahap Awal: RKUHAP hanya mengakui keterangan saksi yang diperoleh di tahap penyidikan ke atas, padahal KPK sudah mengumpulkan alat bukti, termasuk keterangan saksi, sejak penyelidikan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.