Selasa, 26 Agustus 2025

Purnomo Yusgiantoro: Emisi Karbon Indonesia Bisa Turun Hingga 40 Persen lewat Dukungan Internasional

Purnomo Yusgiantoro mendorong partisipasi internasional dan dunia usaha dalam upaya menurunkan emisi karbon di Indonesia. 

Ist
EMISI KARBON - Penasihat Presiden Bidang Energi, Purnomo Yusgiantoro pada peluncuran Center of Excellence for Climate Finance Policy Research, Education, and Training, RECLICKS di Jakarta. (HO/RECLICKS) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penasihat Presiden Bidang Energi, Purnomo Yusgiantoro mendorong partisipasi internasional dan dunia usaha dalam upaya menurunkan emisi karbon di Indonesia

Purnomo Yusgiantoro adalah seorang tokoh dikenal luas dalam bidang energi, pertahanan, dan kebijakan publik.

Ia pernah menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (2000–2009) dan Menteri Pertahanan (2009–2014) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Purnomo mengatakan Indonesia dengan kemampuan domestik dapat menurunkan emisi karbon hingga 30 persen pada 2030 tanpa bantuan internasional. 

"Dengan dorongan pemerintah dan partisipasi dunia usaha, kita bisa menurunkan emisi karbon hingga 30% pada 2030, tetapi kalau ada dukungan luar negeri maka penurunan emisi karbon bisa sampai 40?hkan lebih," kata Purnomo melalui keterangan tertulis, Jumat (22/8/2025).

Hal tersebut diungkapkan Purnomo saat peluncuran Center of Excellence for Climate Finance Policy Research, Education, and Training, RECLICKS di Jakarta.

RECLIKS merupakan proyek kerja sama Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) dan University of Waterloo dalam FINCAPES Project yang didanai Pemerintah Kanada, dalam rangka memperkuat kerangka kebijakan perubahan iklim (climate change) di Indonesia, terutama di sektor energi.

Dia menjelaskan PYC dalam kerja sama dengan University of Waterloo mendukung komitmen pemerintah untuk mewujudkan net zero emission (NZE) pada 2026.

Melalui kerja sama riset dengan Waterloo University, lanjutnya, PYC juga fokus mendorong sektor energi untuk berpartisipasi dalam mengurangi emisi karbon di Indonesia

Pasalnya, emisi karbon terbesar disebut berasal dari sektor energi. 

“Jadi kita ingin sektor energi juga berpartisipasi dalam mengurangi emisi CO2, dan ini menjadimsalah satu fokus kerja sama PYC dan Waterloo," ujar Purnomo.

Purnomo menyampaikan, riset yang dilakukan juga menyoroti dampak climate change bagi kesejahteraan rakyat, terutama dalam hal kebutuhan dasar (basic priority), yakni sandang, pangan, dan papan.

Sebagai negara berkembang, lanjutnya, masyarakat Indonesia masih fokus pada pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan, sehingga tidak terlalu konsen dengan masalah lingkungan dan perubahan iklim.

Hal ini berbeda dengan negara-negara maju yang kesadaran masyarakatnya sangat tinggi untuk masalah lingkungan dan perubahan iklim, karena kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi. 

"Jadi itu yang kita dorong, di samping riset soal Climate Change juga soal sandang, pangan, dan papan untuk kesejahteraan rakyat kita, karena bagaimanapun rakyat kita kan masih memikirkan basic priority dalam hidup mereka," ungkap Purnomo.

Menurutnya, hal ini sejalan dengan teori hierarchy kebutuhan Maslow, yang ditindaklanjuti dalam riset United Nations Development Programme (UNDP) yang menyebut suatu negara akan friendly terhadap lingkungan kalau rakyatnya sejahtera.

"Jadi bisa bayangin ya, rakyat kita yang masih memikirkan sandang, pangan, papan, harus mikir masalah lingkungan, tentu masalah lingkungan akan menjadi the second priority atau prioritas kedua," kata Purnomo.

Dengan demikian, riset PYC dan Waterloo juga mendorong partisipasi masyarakat Indonesia dalam masalah perubahan iklim secara paralel dengan pemenuhan kebutuhan dasar.

 

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan