Selasa, 2 September 2025

Demo di Jakarta

Formappi Minta Partai Politik Tegas Tunjuk PAW Deddy Sitorus Hingga Sahroni

Formappi menyoroti langkah parpol yang hanya menonaktifkan kadernya di DPR RI, buntut kontroversi pernyataan yang menyulut unjuk rasa.

Penulis: Fersianus Waku
Editor: Wahyu Aji
Mario Christian Sumampow
PAW ANGGOTA DPR - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus ditemui di kawasan Kantor KPU RI, Jumat (24/2/2023). Lucius menyoroti langkah sejumlah partai politik yang hanya menonaktifkan kadernya di DPR RI, buntut kontroversi pernyataan yang menyulut unjuk rasa. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyoroti langkah sejumlah partai politik yang hanya menonaktifkan kadernya di DPR RI, buntut kontroversi pernyataan yang dianggap menjadi penyebab unjuk rasa belakangan ini.

Sejumlah partai yang mengambil langkah itu adalah NasDem terhadap Ahmad Sahroni dan Ahmad Sahroni, lalu PAN yang menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya, serta Golkar yang juga mengambil langkah serupa untuk Adies Kadir.

Lalu, ada juga Anggota Fraksi PDI-Perjuangan Deddy Sitorus yang belum menerima sanksi dari partai.

Ketua Formappi, Lucius Karus menilai,keputusan melakukan penonaktifan terkesan setengah hati karena tidak menyentuh akar persoalan.

“Keputusan partai-partai itu tentu saja baik sebagai respons atas tuntutan publik yang mengkritik pernyataan dan sikap tidak pantas sejumlah anggota DPR itu terkait tunjangan DPR,” kata Lucius kepada wartawan.

Namun, Lucius menekankan istilah nonaktif yang dipakai partai justru menimbulkan masalah baru. Pasalnya, kata dia, dalam Undang-Undang MD3 tidak dikenal istilah penonaktifan anggota DPR.

“Istilah nonaktif ini bukan kata yang dipakai UU MD3 untuk menyebutkan alasan yang bisa digunakan DPR untuk memproses penggantian anggota DPR (PAW),” ujarnya.

Ia menjelaskan, UU MD3 hanya mengatur tiga alasan seorang anggota DPR bisa diberhentikan, yakni meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Karena itu, penonaktifan tak bisa dibaca sebagai sanksi resmi partai terhadap kadernya.

“Nampaknya partai tak cukup berani untuk mengakui kesalahan yang telah dilakukan kader-kader mereka, yang memicu kemarahan publik,” tegas Lucius.

Menurut dia, pilihan kata nonaktif justru menggambarkan kegamangan parpol untuk mengambil sikap tegas. Ia menilai langkah itu lebih sebagai strategi menenangkan publik sementara, sembari menunggu situasi mereda.

“Oleh karena itu, keputusan parpol atas Eko, Sahroni Cs lebih nampak sebagai strategi untuk menenangkan publik sementara waktu sembari melihat perkembangan selanjutnya untuk memastikan sanksi terhadap kader-kader mereka,” ujar Lucius.

Masalahnya, lanjut Lucius, dengan status nonaktif itu, anggota DPR bersangkutan tetap berhak menerima gaji dan tunjangan meski tidak bekerja menjalankan fungsi legislatif. Hal ini dikhawatirkan justru memunculkan kemarahan publik gelombang kedua.

“Ketika partai membuat keputusan yang ragu-ragu dengan menggunakan istilah non aktif, maka tunjangan yang jadi akar masalah munculnya aksi massa, masih akan diterima oleh kader-kader non aktif ini,” ucapnya.

Karena itu, Formappi mendesak partai politik mengambil langkah tegas dengan melakukan pemberhentian antar waktu (PAW) terhadap kader yang sudah menimbulkan polemik di tengah masyarakat. 

“Harusnya partai tegas saja sih agar tak ada lagi diskusi setelah ini yang memungkinkan situasi menjadi tidak kondusif lagi,” kata Lucius.

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan