Rabu, 3 September 2025

Tunjangan DPR RI

Soal Anggota Dewan Nonaktif Masih Terima Gaji, Ketua BURT DPR Klaim Urusan Internal Partai

Menurut dia, BURT ada pada kewenangan untuk mengelola yang berkaitan dengan urusan rumah tangga DPR RI.

Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra
ANGGOTA DPR DINONAKTIFKAN - Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI Rizki Aulia Rahman Natakusumah saat ditemui awak media di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/9/2025). Rizki menyebut urusan pemberian gaji kepada para anggota DPR nonaktif ada pada kewenangan partai politik. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI Rizki Aulia Rahman Natakusumah merespons soal masih diterimanya gaji oleh anggota DPR RI yang berstatus nonaktif saat ini.

Diketahui, ada lima orang anggota DPR RI yang nonaktif yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, Surya Utama alias Uya Kuya dan Adies Kadir.

Baca juga: Adies Kadir Masih Dapat Gaji Wakil Ketua DPR Meski Nonaktif, Bahlil: Nanti Kita Lihat

Menurut Rizki, mekanisme penggajian terhadap para anggota DPR ada pada kewenangan di fraksi atau partai masing-masing.

"Ya itu kan tata kelolanya (di BURT). Tapi kan itu urusan partai masing-masing," kata Rizki kepada awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/9/2025).

Baca juga: Sahroni Dinonaktifkan sebagai Anggota DPR, Salsa Erwina: Nonaktif atau Dipecat? Harus Tegas

Menurut dia, BURT ada pada kewenangan untuk mengelola yang berkaitan dengan urusan rumah tangga DPR RI.

Badan Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia merupakan salah satu alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, dan bertugas mengatur segala hal yang berkaitan dengan kerumahtanggaan DPR, termasuk pengelolaan fasilitas, anggaran internal, dan tunjangan anggota dewan.

Perihal dengan urusan internal di fraksi seperti pemberian gaji, itu ada pada kewenangan di partai politik masing-masing.

"Jadi urusan rumah tangga yang saya bidangi kan urusan rumah tangga DPR bukan internal. Jadi mohon ditanyakan ke internal partai masing-masing," tutur dia.

Sebelumnya, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, anggota DPR yang dinyatakan nonaktif oleh partai politik tetap berhak menerima gaji dan fasilitas sebagai legislator. 

Sebab, status keanggotaan mereka belum berubah secara hukum selama belum diberhentikan melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).

Sejumlah anggota DPR dinyatakan nonaktif oleh partainya, antara lain Ahmad Sahroni dan Nafa Indria Urbach dari Partai NasDem, Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio dari PAN, serta Adies Kadir dari Partai Golkar.

Titi menjelaskan, istilah nonaktif memang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), namun penggunaannya sangat spesifik. 

Pasal 144 UU MD3 mengatur bahwa pimpinan DPR dapat menonaktifkan sementara pimpinan dan/atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang diadukan, apabila pengaduannya dinyatakan memenuhi syarat serta lengkap untuk diproses.

"Jadi, konteks “nonaktif” dalam UU MD3 itu hanya berlaku pada posisi pimpinan atau anggota MKD, bukan pada anggota DPR secara umum," kata Titi kepada wartawan, Senin (1/9/2025).

Baca juga: Tak Ada Istilah Nonaktif Anggota DPR, Ahmad Sahroni hingga Eko Patrio Hanya Didisiplinkan Partai

Hal yang sama juga ditegaskan dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR, yang menyatakan bahwa pengaturan mengenai nonaktif hanya berlaku pada pimpinan atau anggota MKD yang diadukan.

Menurut Titi, selain ketentuan itu, perubahan status anggota DPR hanya dapat dilakukan melalui mekanisme pemberhentian antarwaktu (PAW) sebagaimana diatur dalam Pasal 239 UU MD3. 

Proses ini melibatkan usulan dari partai politik, pimpinan DPR, dan penetapan oleh Presiden.

Oleh karena itu, ketika partai politik menyatakan menonaktifkan kadernya yang menjadi anggota DPR, hal tersebut masih berupa keputusan internal partai atau fraksi, dan belum merupakan mekanisme hukum yang otomatis mengubah status keanggotaannya di DPR.

"Dari sisi hukum, mereka tetap berstatus anggota DPR sampai ada PAW. Penggantian antarwaktu bisa dilakukan setelah ada pemberhentian antarwaktu yang disampaikan pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR," ujar Titi.

Titi menjelaskan, Pasal 239 UU MD3 menyebutkan bahwa anggota DPR berhenti antarwaktu apabila meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. 

Pemberhentian sebagaimana dimaksud hanya dapat dilakukan apabila anggota DPR memenuhi sejumlah alasan, seperti tidak melaksanakan tugas selama tiga bulan tanpa keterangan, melanggar sumpah atau kode etik DPR, dijatuhi pidana lima tahun atau lebih dengan putusan berkekuatan hukum tetap, diusulkan oleh partai politiknya, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR, melanggar larangan dalam UU MD3, diberhentikan sebagai anggota partai politik, atau menjadi anggota partai politik lain.

Selain itu, kata dia, mekanisme PAW diatur lebih lanjut dalam Pasal 242 UU MD3. Apabila seorang anggota DPR berhenti antarwaktu, maka posisinya digantikan oleh calon anggota dari partai yang sama dan daerah pemilihan yang sama, berdasarkan suara terbanyak berikutnya. 

Jika calon pengganti tersebut meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat, maka kursi diberikan kepada calon berikutnya.

Dengan demikian, kata dia, PAW merupakan mekanisme formal dan satu-satunya cara yang sah secara hukum untuk mengakhiri masa jabatan anggota DPR sebelum waktunya. 

"Proses ini tidak bisa digantikan dengan istilah nonaktif sebagaimana kerap dipakai partai politik, karena nonaktif hanya berdampak secara internal pada relasi kader dengan fraksi atau partai, bukan pada status resmi sebagai anggota DPR," ucap Titi.

Titi menegaskan, dari perspektif akuntabilitas publik, penggunaan istilah nonaktif oleh partai politik berada di luar koridor UU MD3 dan Tata Tertib DPR, sehingga dapat menimbulkan kerancuan di masyarakat.

"Agar lebih jelas dan demik menjaga kepercayaan masyarakat, maka partai politik harus mempertegas apa yang dimaksud dengan penonaktifkan tersebut. Serta menjelaskan kepada masyarakat konsekuensi dari penonaktifan terhadap status dan hak keanggotaan dari anggota DPR yang dinonaktifkan itu," tegasnya.

"Selama belum ada pemberhentian antarwaktu atau pemberhentian tetap dari keanggotaan DPR, maka logikanya masih menerima gaji dan fasilitas kedewanan," sambung Titi. (*)

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan