Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Polda Metro Jaya Tetapkan Tersangka Aksi Anarkis di Jakarta, Edi Hasibuan Soroti Hal Ini
Edi Hasibuan mendukung polisi melakukan proses hukum terhadap siapa pun yang menjadi dalang dalam aksi anarkis di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Penulis:
Adi Suhendi
Editor:
Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polda Metro Jaya menetapkan enam orang sebagai tersangka terkait aksi anarkis di sejumlah titik di Jakarta.
Keenam tersangka masing-masing berinisial DMR, MS, SH, KA, RAP, dan FL diduga melakukan penghasutan melalui media sosial.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi memaparkan peran para tersangka.
Peran para tersangka di antaranya admin akun penghasut, penyebar ajakan perusakan, hingga pembuat tutorial bom molotov.
Ade Ary mengatakan DMR merupakan admin akun Instagram berinisial Lokataru Foundation (LF).
"DMR berperan melakukan kolaborasi dengan sejumlah akun IG lain untuk menyebarkan ajakan provokatif, termasuk seruan kepada pelajar agar tidak takut turun ke jalan dengan narasi 'aksi kita lawan bareng'," kata Ade Ary.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Dr Edi Hasibuan mendukung polisi melakukan proses hukum terhadap siapa pun yang menjadi dalang dalam aksi anarkis di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
"Kita dukung Polda Metro Jaya memproses hukum siapa pun yang jadi dalang dari aksi anarkis yang berbuntut pembakaran dan penjarahan harta milik warga," kata Dr Edi Hasibuan kepada Tribunnews.com di Jakarta, Rabu (3/9/2025).
Lemkapi adalah singkatan dari Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia. Ini merupakan lembaga independen yang didirikan pada tahun 2016 oleh Dr. Edi Saputra Hasibuan, setelah menyelesaikan masa tugasnya sebagai komisioner Kompolnas periode 2012–2016.
Edi Hasibuan yang merupakan Ketua Prodi Magister Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta melihat penegakan hukum yang dilakukan kepolisian murni masalah hukum.
Edi Hasibuan mengatakan polisi melakukan penangkapan terhadap sejumlah orang yang diduga melakukan pelanggaran hukum berupa provokasi dan mengajak anak-anak pelajar turun ke jalan untuk melakukan tindakan anarkis.
Tindakan tersebut jelas sebagai bentuk perbuatan melanggar hukum.
"Kalau ada pihak yang keberatan dengan penegakan hukum ini, sebaiknya tempuh upaya hukum," kata Ketua Umum Asosiasi Dosen Ilmu Hukum dan kriminologi indonesia (ADIHGI) ini.
Lokataru Bongkar Kontroversi Penangkapan Delpedro Marhaen
Sementara itu, upaya penangkapan paksa terhadap Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, memicu gelombang kritik dari kalangan sipil.
Delpedro Marhaen adalah Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, sebuah lembaga advokasi hak asasi manusia yang didirikan oleh Haris Azhar.
Ia dikenal sebagai aktivis HAM yang vokal menyuarakan isu demokrasi, kebebasan sipil, dan perlindungan masyarakat sipil dari kriminalisasi.
Delpedro ditangkap oleh aparat Polda Metro Jaya pada Senin malam, 1 September 2025, di kantor Lokataru Foundation.
Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam, dia ditetapkan sebagai tersangka penghasutan karena diduga mengajak pelajar, termasuk anak di bawah umur, untuk melakukan aksi anarkistis, menyebarkan informasi elektronik yang dianggap provokatif dan menimbulkan keresahan, dan elanggar sejumlah pasal, termasuk Pasal 160 KUHP, UU ITE, dan UU Perlindungan Anak.
Namun, upaya penangkapan itu penuh kontroversi.
Dalam pernyataan resminya, Lokataru mengungkap dugaan pelanggaran prosedur oleh aparat Polda Metro Jaya, mulai dari larangan akses komunikasi, penggeledahan tanpa surat resmi, hingga perusakan kamera pengawas di kantor mereka.
Penangkapan yang berlangsung pada Senin malam (1/9) pukul 22.45 WIB itu disebut berlangsung tanpa penjelasan hukum yang jelas, menambah sorotan terhadap praktik penegakan hukum dan kebebasan sipil di Indonesia.
Tim Advokasi Lokataru, Fian Alaydrus menceritakan penangkapan terhadap Delpedro di kantornya kawasan Pulogadung, Jakarta Timur.
"Telah dijemput secara paksa oleh aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya di kantor Lokataru Foundation yang beralamat di Jalan Kunci Nomor 16, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung, Kota Jakarta Timur," kata Fian.
Fian menyebut saat itu ada sekitar 7 sampai 8 anggota kepolisian dari Subdit Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya yang melakukan penjemputan paksa.
"Pada saat penjemputan, pihak kepolisian menyatakan telah menyiapkan sejumlah dokumen administrasi termasuk surat penangkapan. Namun, Delpedro Marhaen menanyakan legalitas dokumen tersebut serta pasal-pasal yang dituduhkan, menunjukkan adanya ketidakjelasan atau minimnya informasi awal terkait prosedur hukum yang berlaku," ujarnya.
Ketika itu, kata Fian, Delpedro meminta untuk didampingi kuasa hukum lantaran pasal yang dituduhkan belum dipahami sepenuhnya dan sebagai bentuk upaya pembelaan diri dan perlindungan terhadap martabat kemanusiaannya (human dignity).
"Bahwa terjadi perdebatan terkait administrasi penangkapan dan pasal-pasal yang dituduhkan. Pihak kepolisian kemudian menyarankan Delpedro Marhaen untuk mengganti pakaian, dengan janji penjelasan terkait surat penangkapan dan pasal yang dituduhkan akan diberikan di kantor Polda Metro Jaya, serta akan didampingi Kuasa Hukum dari Delpedro Marhaen," tuturnya.
Namun, kata Fian, saat Delpedro mengganti pakaian di ruang kerjanya, ada sejumlah polisi yang mengikutinya. "Saat Delpedro Marhaen mengganti pakaian di ruang kerjanya,ia diikuti oleh kurang lebih 3 (tiga) anggota kepolisian dengan intonasi yang mengarah pada intimidasi," ucapnya.
"Bahkan sebelum penetapan status tersangka dan penjelasan pasal, hak konstitusional dan hak asasi manusia Delpedro Marhaen dibatasi, termasuk larangan menggunakan telepon untuk menghubungi pihak mana pun dan perintah langsung menuju kantor Polda Metro Jaya," sambungnya.
Menurut Fian tindakan intimidasi, pembatasan hak konstitusional, dan pengabaian prinsip-prinsip HAM terlihat nyata, termasuk larangan komunikasi dengan kuasa hukum dan tidak adanya kesempatan untuk memberi informasi kepada keluarga, yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran prosedur hukum dan hak asasi.
"Bahwa pihak Polda Metro Jaya melakukan penggeledahan kantor Lokataru Foundation tanpa disertai surat perintah penggeledahan sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku. Petugas memasuki lantai 2 kantor secara tidak sopan dan melakukan penggeledahan, serta merusak atau menonaktifkan CCTV kantor, yang berpotensi menghilangkan bukti dan menimbulkan kerugian hukum," ucapnya.
Fian Alaydrus juga menerangkan seorang Staf Lokataru Foundation bernama Muzaffar Salim juga ikut ditangkap.
Muzaffar ditangkap di kantin Polda Metro Jaya pada Selasa (2/9) dini hari ketika mendampingi Direktur Eksekutif Lokataru Delpedro Marhaen yang telah lebih dulu diringkus.
Tak hanya ditangkap, kata Fian, Muzaffar pada saat itu juga langsung ditetapkan tersangka oleh polisi atas kasus yang sama dengan Delpedro."Muzaffar itu ditangkap sekitar jam 01.58 WIB. Sebenarnya tersangka langsung, pasalnya sama dengan Delpedro. Sudah dua tersangka dari Lokataru," kata Fian.
Terkait hal ini, Fian mengatakan, penangkapan terhadap dua rekannya itu tanpa melalui prosedur yang berlaku. Pasalnya, sebelum ditangkap dan ditetapkan tersangka, tidak ada pemanggilan terlebih dahulu terhadap Delpedro maupun Muzaffar. Menurutnya proses hukum terhadap Delpedro dan Muzaffar pun terasa janggal dan melawan hukum.
"Dari sisi prosedur dalam konteks penangkapan teman-teman kami, sahabat kami Delpedro dan Muzaffar dari sisi prosedur itu sangat menyalahi KUHP," jelasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, mempertanyakan penangkapan Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen oleh Polda Metro Jaya.
Delpedro ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan menghasut pelajar untuk melakukan aksi anarkis di Jakarta.
Benny mengatakan, ajakan untuk berpartisipasi dalam demonstrasi tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai hasutan. Ia menilai, menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak yang dijamin konstitusi.
"Ya apa hasutan apa. Kalau mengajak orang apa hasut? Kala saya ajak, 'eh datang kita demonstrasi di depan kantor polisi untuk menyampaikan (pendapat) atau di depan datang di Gedung Kejaksaan untuk menyampaikan pendapat tangkap koruptor, eksekusi napi yang tidak masuk ke rumah tahanan atau di lapas', apa salah?" kata Benny.
Benny menegaskan, kebebasan menyampaikan pendapat, baik secara lisan maupun tertulis, merupakan hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar."Itu dilindungi oleh Undang-Undang Dasar dan dijamin oleh pemerintah," ujarnya.
Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Akhirnya, Gibran Ditagih Janji 19 Juta Lapangan Kerja oleh Mahasiswa di DPR |
---|
Pria Misterius Berjaket Ojol Viral, Diduga Terlibat Pembakaran Gedung Grahadi Surabaya |
---|
Pengamat Sebut Kenaikan Pangkat Polisi Korban Demo Buat Masyarakat Kecewa: Rakyat Jadi Korban Juga |
---|
Bawa Bom Molotov saat Demo di DPRD Sulbar, Dua Orang Jadi Tersangka |
---|
Perwakilan Mahasiswa Minta Pimpinan DPR RI Telepon Kapolri: Bebaskan Kawan Kami |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.