Mendagri Tito Klaim Kenaikan Pajak Daerah Bukan karena Efisiensi, Singgung Gejolak Protes di Pati
Mendagri Tito Karnavian menilai kenaikan PBB di sejumlah daerah bukan disebabkan oleh kebijakan efisiensi, tapi karena adanya desentralisasi fiskal.
Penulis:
Faryyanida Putwiliani
Editor:
Pravitri Retno W
"Jadi NJOP itu menurut undang-undang itu harus disesuaikan setiap 3 tahun sekali. Ini sesuai dengan harga market NJOP, nilai jual objek pajak," imbuhnya.
Tito menilai, untuk masyarakat mampu, kenaikan pajak ini bisa saja tidak mereka rasakan. Tapi, berbeda dengan masyarakat kurang mampu, adanya kenaikan ini pasti sangat mereka rasakan.
"Nah, yang kalau orang kaya enggak mungkin enggak terasa. Tapi kalau masyarakat yang kurang mampu, tapi dia punya tanah gitu, harganya dinaik-naikkan ya pasti pengaruh. Dia enggak punya pemasukan yang lain."
"Nah, ini ada yang NJOP-nya disesuaikan, pasti PBB akan naik karena PBB Pedesaan Perkotaan, PBB P2, Pajak Bumi Bangunannya pasti akan ngikuti harga NJOP."
"Nah, ada juga daerah yang menyesuaikan NJOP tapi kemudian menaikkan juga PBB. Nah, ini bisa menjadi dua kali (kenaikan)."
"Jadi dari situ kami melihat bahwa bukan karena efisiensinya, karena cuma lima di tahun 2005 efisiensi terjadi di 2025," ungkap Tito.
Baca juga: Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Diprediksi Naik di 2026 Akibat Pemangkasan Anggaran Transfer ke Daerah
Kepala Daerah Banyak yang Kurang Paham Cara Buat Kebijakan

Selain karena aturan undang-undang, Tito juga merasa gejolak penolakan kenaikan pajak di daerah ini muncul karena masih banyak kepala daerah yang belum paham soal bagaimana cara membuat kebijakan berpengaruh untuk masyarakat banyak.
Tito menegaskan, ada dua faktor yang harus dipertimbangkan dalam membuat kebijakan, yakni kondisi sosial ekonomi masyarakat dan sosialisasi.
Banyak daerah yang kurang melakukan sosialisasi dan melibatkan masyarakat dalam memutuskan kenaikan pajak ini.
Sehingga, kata dia, hal ini berujung pada banyaknya aksi protes masyarakat soal kenaikan pajak seperti yang terjadi di Pati, Jawa Tengah.
"Tapi banyak teman-teman di daerah mungkin yang kurang paham tentang bagaimana cara membuat kebijakan yang berpengaruh kepada banyak. Karena harus dua faktor dipertimbangkan disitu. Di dalam undang-undang itu juga diatur yaitu yang pertama harus melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat."
Baca juga: Rapat Pansus DPRD Pati Disiarkan Live, Sudewo: Jangan Digunakan untuk Telanjangi Pemerintah
"Yang kedua harus melakukan sosialisasi. Sosialisasi artinya dengan masyarakat, dengan semua sektor elemen masyarakat. Begitu mereka setuju, bahkan bisa angkanya dinaikkan berapa sesuai NJOP, sampaikan secara rasionalitas ketemu angkanya, semua sepakat silakan dibuat kebijakan,"
"Tapi jangan sampai belum sosialisasi kondisi sosial ekonomi masyarakat berat dipukul rata gejolak nah ini sudah kami sampaikan kepada teman-teman itu yang terjadi," terang Tito.
Kini, Kemendagri akhirnya harus turun tangan memonitor langsung kebijakan yang dibuat di daerah.
Yakni dengan cara menggunakan diskresi Undang-Undang Nomor 23 sebagai pembina dan pengawas daerah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.