Rabu, 24 September 2025

Pakar Politik Australia: Apa yang Dilakukan Prabowo Berbeda dengan Dwifungsi ABRI Zaman Soeharto

menurut Marcus, Prabowo mencoba memenempatkan TNI sebagai pembantu dalam menkonsolidasikan posisinya sebagai presiden.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Wahyu Aji
Tribunnews.com/Gita Irawan
DWIFUNGSI ABRI - Pakar Politik Australian National University (ANU), Marcus Mietzner, hadir secara daring saat peluncuran Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi (Prisma) edisi khusus bertajuk “Hubungan Sipil-Militer di Tengah Krisis Demokrasi” yang diluncurkan Laboratorium Indonesia 2045 bersama BINEKSOS di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada Selasa (16/9/2025). Marcus memandang dalam konteks sejarah, kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang melibatkan militer saat ini berbeda dengan praktik dwifungsi ABRI yang dipraktikan pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Politik Australian National University (ANU), Marcus Mietzner, memandang dalam konteks sejarah, kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang melibatkan militer saat ini berbeda dengan praktik dwifungsi ABRI yang dipraktikan pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Dwifungsi ABRI adalah doktrin yang memberi peran ganda kepada perwira ABRI tidak hanya bertugas di bidang militer, tetapi juga bisa menduduki jabatan sipil, birokrasi, DPR/MPR, hingga kepala daerah.

Konsep ini lahir pada tahun 1966 dan dilegalkan melalui TAP MPRS, memungkinkan ABRI menduduki kursi pemerintahan secara institusional, terutama pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

 

Setelah Reformasi 1998, dwifungsi secara resmi dihapuskan, dan ABRI dipisah menjadi TNI dan Polri.

Marcus menjelaskan konsep dwifungsi ABRI di bawah pemerintahan awal Orde Baru, adalah suatu konsep yang melibatkan peran militer dalam pemerintahan.

ABRI sebagai lembaga, lanjut dia, pada waktu itu menjadi pemerintah.

Sehingga, kata dia, pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an ABRI menduduki sebagian kursi pemerintahan yang dilegalkan oleh konsep dwifungsi. 

Sehingga saat itu, ABRI secara keseluruhan ABRI menjadi pemimpin pemerintahan. 

Namun, Marcus melihat hal itu bukan menjadi tujuan Presiden Prabowo saat ini. 

Prabowo, kata dia, mungkin akan memilih beberapa orang berlatar belakang militer yang dia percaya dan memberikan peran di dalam pemerintahannya.

Akan tetapi, menurutnya Prabowo tidak punya kepentingan untuk menghidupkan kembali dwifungsi sebagai konsep seperti dipraktikan pada awal Orde Baru. 

Marcus menyampaikan pandangan itu saat menjelaskan tulisannya yang berjudul "Apakah Dwifungsi akan Kembali di Bawah Pemerintahan Prabowo? Suatu Tinjauan Historis" dalan Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi "Prisma" edisi khusus.

Hal itu disampaikannya saat peluncuran Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi (Prisma) edisi khusus bertajuk “Hubungan Sipil-Militer di Tengah Krisis Demokrasi” yang diluncurkan Laboratorium Indonesia 2045 bersama BINEKSOS di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada Selasa (16/9/2025).

"Argumentasi saya adalah bahwa apa yang dilakukan oleh Prabowo adalah bisa membahayakan demokrasi, bisa membahayakan juga peran profesional TNI, tapi itu sama sekali berbeda dengan konsep dwifungsi yang dipraktikkan pada awal zaman Soeharto," kata Marcus.

Marcus menekankan ekspansi peran TNI di bawah pemerintahan Prabowo adalah sesuatu yang bisa membahayakan demokrasi.

Menurutnya, hal itu harus dilihat sebagai upaya presiden untuk memperkuat kekuasannya.

Untuk memperkuat kekuasaannya, menurut Marcus, Prabowo mencoba memenempatkan TNI sebagai pembantu dalam menkonsolidasikan posisinya sebagai presiden.

Untuk itu ia mengingatkan agar diskusi tidak berfokus terlalu obsesif terhadap semacam agenda pembangkitan kembali dwifungsi.

"Jadi Prabowo menurut saya lebih canggih. Ini suatu konsep yang baru itu disesuaikan dengan zaman abad ke-21, di mana TNI bukan lagi ditempatkan paling depan seperti dwifungsi, tapi diberikan peran untuk memperkuat peran seorang Presiden yang punya agenda untuk konsolidasi kekuasaan," ungkap Marcus.

Sosok Marcus

Marcus Mietzner lahir di Jerman pada tahun 1972.

Ia menyelesaikan studi S-1 dan S-2 Politik Asia Tenggara, Sejarah, dan Filsafat di Universitas Gothe, Frankfurt pada tahun 1977.

Ia meraih gelar PhD Ilmu Politik di Australian National University (2005).

Tesis doktoral Marcus membahas peran militer dalam proses transisi rezim di Indonesia.

Marcus tercatat pernah bekerja untuk USAID di Indonesia dalam bidang reformasi sektor keamanan.

Marcus juga menulis sejumlah buku tentang politik Indonesia di antaranya The Coalitions Presidents Make: Presidential Power and its Limits in Democratic Indonesia yang diterbitkan Cornell University Press tahun 2023.

Selain itu, rencananya ia akan menerbitkan buku yang berjudul Ruling Indonesia: Jokowi's Precidency in an Age of Democratic Crisis and Great Powet Competition oleh University of Michigan Press pada akhir 2025.

Baca juga: Struktur TNI Diperluas: Pengamat Ingatkan Beban Anggaran dan Warisan Dwifungsi ABRI

Buku tersebut tentang 10 tahun pemerintahan Jokowi.

Sejak tahun 2008 Marcus juga menjadi dosen di Australian National University.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan