Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Tetap Kritis Suarakan Perjuangan Rakyat, Erick Yusuf Sebut Unjuk Rasa Harus Damai, Tanpa Kekerasan
pentingnya kanal-kanal komunikasi yang efektif antara masyarakat dan pemerintah agar aspirasi tidak harus disuarakan lewat jalanan yang berisiko.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gelombang demonstrasi yang terjadi pada akhir bulan Agustus 2025 menjadi sorotan publik.
Di tengah tuntutan yang tulus untuk keadilan dan perbaikan kebijakan, muncul pula kekhawatiran akan potensi pemboncengan dan anarkisme yang merusak esensi perjuangan.
Mantan aktivis yang sekaligus Ketua Komisi Pusat Seni Budaya dan Kreativitas Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Erick Yusuf, menekankan pentingnya kanal-kanal komunikasi yang efektif antara masyarakat dan pemerintah agar aspirasi tidak harus disuarakan lewat jalanan yang berisiko.
Erick Yusuf adalah seorang pendakwah kreatif, aktivis sosial, dan tokoh yang dikenal karena pendekatan dakwahnya yang inovatif dan dekat dengan generasi muda.
Lahir di Bandung pada tahun 1971, ia memulai karier sebagai musisi sebelum beralih ke dunia dakwah. Ia mendirikan Pesantren Kreatif iHAQi dan aktif membina SMP iHAQi Boarding School, dengan visi membentuk generasi yang agamis, universal, dan kreatif.
Erick Yusuf juga menjabat sebagai Ketua Komisi 4 di Dewan Riset Daerah (DRD) Jakarta.
Pendekatannya menggabungkan nilai-nilai syariah dengan gaya hidup kekinian, menjadikannya salah satu figur penting dalam dakwah modern di Indonesia.
“Demo itu ringkih. Kalau sedikit tidak didengar, bisa meledak. Kalau banyak, bisa diboncengi,” ujar Erick kepada wartawan, Selasa (16/9/2025).
Dia juga menyoroti pemerintah seharusnya sudah memiliki kanal aspirasi yang bukan sekadar formalitas, melainkan ruang diskusi yang aktif dan responsif.
Menurutnya, demonstrasi besar-besaran sering kali terjadi karena saluran komunikasi yang mampet, dan ketika itu terjadi, potensi gangguan keamanan meningkat.
Erick juga mengingatkan bahwa aksi massa yang tidak terkendali, terutama saat malam hari, rawan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab.
"Mahasiswa dan buruh itu kekuatan moral. Tapi kalau ada pembakaran, penjarahan, semua dukungan akan mundur dan massa tidak akan dapat simpatik. Karena aksi anarkis itu akan merugikan kita semua" katanya.
Dia pun menyarankan masyarakat memanfaatkan jalur digital seperti media sosial, forum daring, dan pertemuan intensif dengan DPR atau pemerintah sebelum memilih turun ke jalan.
Dalam refleksi atas kejadian di Bandung, Erick menceritakan inisiatif mempertemukan ulama dan umaro untuk meredam ketegangan.
Wali Kota Bandung, Farhan, bahkan mendorong agar anggota DPRD kembali ke dapil masing-masing untuk menyerap aspirasi warga secara langsung.
"Gerakan warga jaga warga, warga jaga kota, itu penting. Kita harus tahu siapa yang benar-benar warga dan siapa yang hanya datang untuk merusak,” tegas Erick.
Menurut dia, pentingnya komunikasi antara pemimpin dan ulama sebagai penjaga moral bangsa.
Erick menilai, ulama yang dekat dengan masyarakat bisa menjadi jembatan informasi yang jujur dan akurat bagi Presiden.
"Kalau pembisik menahan informasi, Presiden bisa tidak tahu apa yang dirasakan rakyat. Akhirnya muncul prasangka buruk,” ujarnya.
Erick pun mengajak semua pihak untuk tetap kritis, namun terorganisir dan damai.
Dia juga mengapresiasi mahasiswa dan buruh yang terus menyuarakan ketimpangan, namun mengingatkan agar perjuangan tidak dirusak oleh tindakan destruktif.
"Kita kawal pemerintah, kita dorong DPR untuk bersih-bersih. Tapi jangan biarkan suara rakyat dibajak oleh kekacauan,” pungkasnya.
Pembentukan tim independen
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman, dan Komisi Nasional Disabilitas (KND), membentuk Tim Independen LNHAM untuk Pencari Fakta.
Tim ini akan menyelidiki dampak dari aksi unjuk rasa berujung kerusuhan pada Agustus-September 2025 di Jakarta dan berbagai wilayah di Indonesia.
"Bahwa ruang lingkup kerja Tim Independen ini mencakup pemantauan peristiwa unjuk rasa dan kerusuhan," kata Wakil Ketua LPSK, Sri Suparyati, melalui keterangan tertulis, Sabtu (13/9/2025).
Pembentukan tim independen menjadi langkah penting untuk memastikan suara korban tidak terabaikan.
Tim tidak hanya berfokus pada pencarian fakta, tetapi juga menempatkan kondisi korban dan keluarganya sebagai prioritas utama.
Sri Suparyati mengungkapkan, tim juga tidak hanya sebatas mengamati jalannya unjuk rasa dan kerusuhan, tetapi juga melakukan penilaian menyeluruh atas konsekuensi yang ditimbulkan.
Perhatian diberikan pada berbagai aspek, mulai dari korban jiwa, korban luka fisik, hingga trauma psikologis yang dialami masyarakat.
Selain itu, tim akan memetakan kerugian sosial-ekonomi serta kerusakan fasilitas umum yang berimplikasi langsung pada kehidupan publik.
"Tim akan menilai dampak peristiwa, termasuk korban jiwa, korban luka-luka, trauma psikologis, kerugian sosial-ekonomi serta kerusakan fasilitas umum," ujar Sri Suparyati.
Melalui kerja sama enam lembaga HAM ini, tim menghimpun data, informasi, serta pengalaman langsung dari para korban, untuk kemudian dianalisis secara menyeluruh.
Tim Independen LNHAM ini dibentuk sebagai langkah konkret untuk bekerja secara objektif, imparsial, dan partisipatif, yang bertujuan mendorong kebenaran, penegakan hukum, pemulihan korban, serta pencegahan agar pelanggaran serupa tidak berulang.
Berdasarkan temuan LNHAM, peristiwa unjuk rasa yang terjadi pada Agustus-September 2025 telah menimbulkan 10 korban jiwa.
“Ini yang perlu kami suarakan, agar peristiwa-peristiwa seperti ini menjadi prioritas pemerintah supaya tidak terulang kembali, serta agar tuntutan masyarakat bisa ditindaklanjuti. Yang perlu digarisbawahi adalah tim ini bukan hanya untuk pencarian fakta, tapi juga mengedepankan kondisi korban,” kata Sri Suparyati.
Dia menekankan, tim juga berkewajiban mengkaji dampak sosial, psikologis, dan ekonomi yang dialami korban maupun keluarganya.
Hasil analisis tersebut akan dituangkan dalam rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah.
Dengan begitu, pemerintah diharapkan tidak hanya memikirkan aspek penegakan hukum, tetapi juga langkah nyata untuk memulihkan dan melindungi korban.
"Sesuai tupoksi enam lembaga HAM ini, salah satunya adalah menganalisis dampak peristiwa terhadap korban dan keluarganya. Jika ada temuan, tentu harus direkomendasikan kepada pemerintah, dan pemerintah harus memikirkan bagaimana dampaknya terhadap korban dan keluarganya,” ungkapnya.
Selain itu, Sri Suparyati menegaskan, salah satu tugas utama tim adalah menganalisis dampak peristiwa terhadap korban dan keluarganya.
"Temuan yang muncul nanti harus direkomendasikan kepada pemerintah, yang tidak hanya dituntut dari sisi hukum, tetapi juga memikirkan dampak nyata terhadap korban. Dengan begitu, penanganan peristiwa akan menjadi satu paket yang menyeluruh dan komprehensif," ucapnya.
Landasan kerja tim ini didasarkan pada mandat peraturan perundang-undangan yang melekat pada masing-masing institusi.
Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Pemerintah Hormati Inisiatif 6 Lembaga Tim Pencari Fakta Usut Aksi Unjuk Rasa Berujung Rusuh |
---|
Gedung Pemerintahan-DPRD Kediri Jatim yang Rusak Akibat Demo Bakal Berfungsi Lagi Pertengahan 2026 |
---|
Mabes TNI Ungkap Alasan Pilih Berdamai dan Batalkan Proses Hukum Ferry Irwandi ke Polisi |
---|
Dua Presiden Buruh Minta Aksi Unjuk Rasa Tak Disertai Kekerasan, Harus Damai |
---|
Transformasi DPR: 17+8 Tuntutan Rakyat untuk Parlemen yang Merakyat |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.