Selasa, 7 Oktober 2025

Mushola Ambruk di Sidoarjo

Fakta Mengejutkan di Balik Tragedi Ponpes Al Khoziny, Tanda Bahaya Keselamatan Ribuan Santri

Peristiwa tragis tersebut bukan sekadar musibah, tetapi menunjukkan kegagalan sistemik dalam penerapan standar teknis pembangunan.

Editor: Willem Jonata
Tribun Jatim/M Taufik
MUSHALA AMBRUK Sejumlah petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sidoarjo masih berusaha melakukan evakuasi di area bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo, Jawa Timur, yang roboh, Senin (29/9/2025) sore. Sementara dari dalam reruntuhan, terdengar suara beberapa orang meminta tolong yang diduga santri. 

TRIBUNNEWS.COM - Tragedi ambruknya mushala tiga lantai di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, yang menewaskan puluhan santri, Senin (29/9/2025), menjadi peringatan betapa pentingnya kepatuhan izin kelayakan bangunan pondok pesantren.

Berkait peristiwa ini, Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo, mengungkapkan data yang mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan.

"Di seluruh Indonesia Raya hanya 50 ponpes yang memiliki izin mendirikan bangunan, yang lain belum," kata Dody Hanggodo, dikutip Kompas.com, Minggu (5/10/2025). 

Dari total 42.433 pondok pesantren yang terdaftar di Kementerian Agama (Kemenag) periode 2024/2025, sekira 50 pesantren saja yang tercatat telah mengurus Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).

Baca juga: 7 Hari Evakuasi Korban Tewas Ponpes Al Khoziny Sidoarjo Tembus 46 Jiwa, 10 Orang Teridentifikasi

Angka ini menunjukkan mayoritas atau lebih dari 99 persen institusi pendidikan yang dihuni puluhan ribu santri, beroperasi tanpa jaminan sertifikasi kelayakan bangunan dari pemerintah.

PBG merupakan pengganti dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Fungsinya krusial, yakni memastikan bangunan memenuhi standar keselamatan dan kelayakan teknis.

Menteri Dody Hanggodo mengakui adanya kompleksitas birokrasi karena PBG berada di bawah kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda), sementara operasional pesantren di bawah Kemenag.

"Harusnya semua pesantren memiliki izin. PBG ini kewenangannya ada di Pemda, tapi kita perlu koordinasi antara Kemendagri dan Kemenag, karena ponpes di bawah Kemenag," jelas Dody.

Kelalaian ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pengelola pesantren, tetapi juga menunjukkan lemahnya koordinasi dan sosialisasi antara kementerian terkait untuk memastikan standar keselamatan diterapkan di seluruh lembaga pendidikan agama.

Menyusul tragedi Al Khoziny, Kementerian PU akan segera berkoordinasi dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk melakukan tindakan masif.

Fokus utama setelah masa tanggap darurat di Sidoarjo selesai adalah sosialisasi mendalam kepada Pemda dan seluruh pondok pesantren di seluruh Indonesia.

Tujuannya adalah mendorong kepengurusan PBG dan sertifikasi laik bangunan.

Lemahnya budaya konstruksi aman

Anggota Komisi V DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sudjatmiko, menyoroti ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai peringatan keras atas lemahnya budaya konstruksi aman di Indonesia. 

Dia menegaskan bahwa peristiwa tragis tersebut bukan sekadar musibah, tetapi menunjukkan kegagalan sistemik dalam penerapan standar teknis pembangunan.

“Tragedi ini bukan hanya peristiwa duka yang menelan korban, melainkan juga peringatan keras mengenai lemahnya budaya konstruksi aman di Indonesia,” kata Sudjatmiko dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Minggu (5/10/2025).

Menurutnya, dalam disiplin teknik sipil, sebuah bangunan tidak akan runtuh secara tiba-tiba jika seluruh tahapan pembangunan dilakukan sesuai prinsip perencanaan, perancangan, dan pelaksanaan yang benar. 

Dia menegaskan, nyawa manusia tidak boleh lagi melayang hanya karena kelalaian teknis dan ketidaktahuan terhadap prinsip bangunan aman.

“Ambruknya bangunan sering kali buru-buru dilabeli sebagai takdir. Padahal, dalam banyak kasus, penyebab utama justru kegagalan konstruksi,” katanya.

Sudjatmiko menjelaskan sejumlah faktor yang kerap menyebabkan kegagalan bangunan, khususnya pada lembaga pendidikan berbasis komunitas seperti pesantren.

Pertama, perencanaan struktur yang lemah karena banyak bangunan dibangun tanpa melibatkan tenaga ahli teknik sipil.

Kedua, penggunaan material yang tidak sesuai standar, di mana baja tulangan, semen, atau pasir sering diganti demi menekan biaya.

Ketiga, minimnya pengawasan konstruksi, sebab banyak proyek tidak diawasi oleh insinyur bersertifikat.

Keempat, ketidaktahuan terhadap kondisi tanah, yang membuat bangunan tidak didesain sesuai karakteristik lahan.

“Sidoarjo, misalnya, memiliki kontur tanah yang sebagian berupa tanah lunak. Tanah jenis ini membutuhkan pondasi kuat dan desain khusus. Tanpa kajian geoteknik, bangunan bisa amblas atau miring sebelum waktunya,” ucapnya.

Sudjatmiko menekankan bahwa dalam ilmu teknik sipil, kegagalan struktur tidak boleh terjadi jika desain memperhitungkan faktor keamanan (safety factor) yang cukup.

Ambruknya gedung secara mendadak, katanya, menandakan adanya kesalahan serius sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan.

“Konstruksi pendidikan atau keagamaan seperti pesantren punya beban sosial besar. Setiap kesalahan teknis bukan sekadar bangunan roboh, tapi juga soal nyawa manusia,” ujarnya.

Sudjatmiko menilai, tragedi Al Khoziny harus menjadi pelajaran penting bagi ratusan pesantren lain di Indonesia. 

Dia menyerukan agar semua pembangunan fasilitas pendidikan keagamaan mematuhi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung serta Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 sebagai aturan pelaksanaannya.

Dalam pandangannya, ada enam langkah mitigasi yang harus dilakukan.

Pertama, melibatkan ahli sejak awal agar perhitungan struktur dan pondasi mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI).

Kedua, menetapkan standar mutu bahan bangunan, sesuai SNI 1726:2019 tentang ketahanan gempa.

Ketiga, melakukan audit kelayakan bangunan, terutama pesantren yang menampung ratusan santri.

Keempat menerapkan regulasi lebih tegas, termasuk penegakan izin mendirikan bangunan (IMB) dan pengawasan profesional.

Kelima meningkatkan edukasi dan sosialisasi, agar pesantren memahami pentingnya keselamatan konstruksi.

Keenam menyiapkan dana khusus renovasi dan standarisasi melalui bantuan pemerintah.

"Kesadaran bahwa bangunan aman adalah bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual harus ditanamkan di lingkungan pesantren,” katanya.

Sudjatmiko menegaskan, setiap bangunan yang gagal adalah alarm keras bagi dunia teknik dan kebijakan publik. Ia berharap tragedi di Sidoarjo tidak berhenti sebagai berita sesaat, tetapi menjadi momentum perubahan dalam tata kelola pembangunan fasilitas pendidikan.

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved