Selasa, 7 Oktober 2025

Kasus Korupsi PLTU Kalbar

Breaking News: Eks Dirut PLN dan Adik Jusuf Kalla Tersangka Korupsi PLTU Kalbar Rp1,2 Triliun

Proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat senilai Rp1,2 triliun yang mangkrak sejak 2016 kini menyeret empat nama besar

|
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Dodi Esvandi
Tribunnews/Reynas Abdilla
Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo menetapkan empat orang tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat 2x50 megawatt, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, tahun 2008-2018. Keterangan disampaikan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat senilai Rp1,2 triliun yang mangkrak sejak 2016 kini menyeret empat nama besar ke meja hukum.

Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri menetapkan mantan Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar dan pengusaha Halim Kalla—adik dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla—sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek tersebut.

“Tersangka FM sebagai Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK (Direktur PT BRN), RR (Dirut PT BRN), dan HYL (Dirut PT Praba),” ungkap Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).

PLTU 1 Kalbar berkapasitas 2x50 megawatt di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, dimulai pada 2008 dengan pendanaan dari kredit komersial Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA).

Namun, proyek ini gagal dimanfaatkan sejak 2016 meski telah diaddendum sebanyak 10 kali hingga 2018.

“Proyek PLTU diduga melawan hukum penyalahgunaan wewenang sehingga pekerjaan mengalami kegagalan alias mangkrak sejak 2016,” ujar Cahyono.

Konsorsium KSO BRN ditunjuk sebagai pemenang lelang berdasarkan Surat Persetujuan Direksi PLN Nomor 178 Tahun 2008.

Baca juga: Baleg DPR RI Undang Jusuf Kalla Bahas Revisi UU Pemerintahan Aceh

Namun, hasil penyelidikan menunjukkan bahwa KSO BRN tidak memenuhi sejumlah persyaratan penting:

  • Tidak memiliki pengalaman membangun PLTU minimal 25 MW
  • Tidak menyerahkan laporan keuangan tahun 2007 (audited)
  • Laba bersih konsorsium tahun 2006 tidak mencapai batas minimum Rp7,5 miliar
  • Tidak menyampaikan dokumen SIUJKA atau surat pernyataan penanggung jawab

Peserta tambahan dalam konsorsium, OJSC POWER MACHINES yang memiliki pengalaman PLTU, baru dimasukkan kemudian.

Kontrak pekerjaan ditandatangani pada 11 Juni 2009 antara RR selaku Dirut PT BRN dan FM selaku Dirut PLN, dengan nilai USD 80 juta dan Rp507 miliar.

Namun, pada akhir 2009, seluruh pekerjaan dialihkan ke PT PI dan perusahaan energi asal Tiongkok, QJPSE.

“Laporan hasil pemeriksaan investigatif oleh Auditorat Utama Investigasi BPK RI terdapat indikasi kerugian keuangan negara sebesar kurang lebih USD 62,410 juta dan Rp323,2 miliar,” pungkas Cahyono.

Penyidik menduga terdapat aliran dana dari KSO BRN melalui PT PI kepada sejumlah pihak sebagai bentuk suap dalam pelaksanaan proyek.

Kasus ini awalnya ditangani oleh Polda Kalbar sejak 2021, sebelum dilimpahkan ke Bareskrim Polri pada Mei 2024.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved