Kasus Korupsi PLTU Kalbar
Duduk Perkara Korupsi PLTU Kalbar yang Menjerat Halim Kalla, Adik Jusuf Kalla
Polri mengejutkan dengan tetapkan adik JK, Halim Kalla, dan eks Dirut PLN sebagai tersangka korupsi. Bagaimana duduk perkara sebenarnya?
Ringkasan Utama
- Polri menetapkan Halim Kalla dan tiga lainnya sebagai tersangka kasus korupsi proyek PLTU Kalbar.
- Halim Kalla adalah adik kandung Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla.
- Proyek senilai Rp1,2 triliun mangkrak sejak 2016 dan tidak dapat dimanfaatkan.
- Kerugian negara ditaksir lebih dari Rp323 miliar dan USD 62 juta.
- Kasus diambil alih Bareskrim Polri dari Polda Kalbar sejak 2024.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat berkapasitas 2x50 megawatt di Kabupaten Mengkawah.
Tersangka meliputi Fahmi Mochtar (mantan Dirut PLN 2008–2009), Halim Kalla (Direktur PT BRN), RR (Dirut PT BRN), dan HYL (Dirut PT Praba).
Penetapan diumumkan oleh Irjen Cahyono Wibowo dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).
“Tersangka FM sebagai Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK (Direktur PT BRN), RR (Dirut PT BRN), dan HYL (Dirut PT Praba),” ujar Cahyono.
Duduk Perkara: Dari Lelang PLTU ke Dugaan Korupsi
PLTU Kalbar-1 dilelang pada 2008 dengan pendanaan dari PT PLN (Persero), bersumber dari kredit komersial Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA).
Pemenang lelang ditetapkan sebagai konsorsium Kerja Sama Operasi (KSO) BRN, yang dipimpin oleh Halim Kalla.
Namun, konsorsium dinilai tidak memenuhi sejumlah persyaratan prakualifikasi dan teknis.
Mereka tidak memiliki pengalaman membangun pembangkit tenaga uap minimal 25 MW, tidak menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2007, dan tidak menyampaikan dokumen SIUJKA.
“Penetapan pemenang lelang dilakukan meski konsorsium tidak memenuhi syarat teknis dan administratif. Ini menjadi titik awal rangkaian pelanggaran yang berujung pada kerugian negara,” ujar Irjen Cahyono Wibowo.
Baca juga: KPK Periksa Gubernur Kalbar Ria Norsan Terkait Korupsi Jalan Mempawah
Kontrak pekerjaan senilai USD 80 juta dan Rp507 miliar ditandatangani pada 11 Juni 2009 antara RR dan Fahmi Mochtar.
Seluruh pekerjaan kemudian dialihkan kepada pihak ketiga, yakni PT PI dan QJPSE, perusahaan energi asal Tiongkok.
“Seluruh pekerjaan dialihkan ke pihak ketiga tanpa dasar hukum yang jelas. Proyek mangkrak, tapi uang sudah mengalir,” tambah Cahyono.
Pembangunan PLTU gagal dimanfaatkan sejak 2016, meski kontrak telah direvisi sepuluh kali hingga 2018.
Menurut laporan investigatif BPK RI, proyek ini menimbulkan indikasi kerugian negara sebesar USD 62,410 juta dan Rp323,2 miliar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.