Kasus Korupsi PLTU Kalbar
Halim Kalla dan 3 Tersangka Korupsi PLTU 1 Kalbar yang Rugikan Negara Rp 1,3 T Belum Ditahan
Kasus dugaan korupsi ini awalnya ditangani penyidik Polda Kalbar sejak 7 April 2021. Lantas diambil alih oleh Kortas Tipidkor Polri pada Mei 2024.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat tahun 2008-2018.
Keempat tersangka tersebut ialah FM selaku eks Dirut PLN, kemudian Halim Kalla atau HK selaku Presiden Direktur PT BRN.
Berikutnya, RR selaku Dirut PT BRN dan tersangka inisial HYL selaku Dirut PT Praba.
Kakortas Tipidkor Polri, Irjen Cahyono Wibowo mengungkapkan keempat tersangka belum ditahan.
Pihaknya tengah berkoordinasi dengan kejaksaan terkait kelengkapan berkas perkara tersebut.
Baca juga: Polisi Ungkap Peran Adik Jusuf Kalla di Kasus Dugaan Korupsi Pembangunan PLTU 1 Kalbar
"Kalau untuk ditahan belum, kami juga akan berkoordinasi dengan teman-teman Kejaksaan terhadap kelengkapan daripada bekas perkara itu sendiri," ungkapnya di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).
Irjen Cahyono berharap proses pemberkasan tidak memakan waktu terlalu lama, sehingga tidak perlu dilakukan paksa (penahanan) terhadap para tersangka.
Selain itu, Halim Kalla dan tiga tersangka lainnya akan dicekal ke luar negeri (LN) dalam proses penanganan perkara.
"Ada pasti (dicegah ke luar negeri), itu pasti ada, tindakan itu pasti ada," tutur Kakortas.
"Jadi simultan nanti. Pada saat penetapan tersangka tim kami juga sudah akan mengeluarkan pencegahan bepergian keluar negeri," tambahnya.
Diketahui, satu dari empat tersangka adalah Halim Kalla, adik kandung Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla.
Dari tindak pidana korupsi ini, potensi kerugian negara sebesar 62.410.523 USD.
Dalam kurs saat ini Rp 16,6 ribu per dolar AS, artinya kurang lebih kerugian negara mencapai Rp 1,350 triliun.
Adapun lokasi proyek PLTU 1 Kalimantan Barat 2x50 Megawatt berada di Desa Jungkat, Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat.
Keempat tersangka melakukan tindak pidana korupsi di mana dalam proses dari awal perencanaan kemudian terjadi korespondensi.
Artinya ada pemufakatan dalam rangka memenangkan pelaksanaan pekerjaan, setelah dilakukan kontrak kemudian ada pengaturan-pengaturan sehingga ini terjadi keterlambatan yang mengakibatkan sejak 2008-2018 itu dilakukan adendum.
Akibat dari pekerjaan itu, pembangunannya mangkrak sampai dengan saat ini dan sudah dinyatakan total loss oleh BPK.
Kasus dugaan korupsi ini awalnya ditangani penyidik Polda Kalbar sejak tanggal 7 April 2021.
Lantas kasus ini diambil alih oleh Kortas Tipidkor Polri pada Mei 2024.
Langkah penyelidikan dilakukan sampai November 2024.
Kini, keempat orang tersangka dikenakan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
Penyidik akan segera memanggil keempat pelaku untuk diperiksa sebagai tersangka.
Kortas Tipidkor juga akan mendalami dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari perkara ini.
Duduk Perkara
Proyek PLTU diduga melawan hukum terkait penyalahgunaan wewenang sehingga pekerjaan mengalami kegagalan alias mangkrak sejak 2016.
Upaya perpanjangan waktu dilakukan melalui amandemen kontrak sebanyak 10 kali sampai dengan 2018 namun tidak dapat dimanfaatkan.
Pada 2008 telah dilaksanakan lelang pembangunan PLTU dengan sumber Anggaran dari PT. PLN (Persero) yang berasal dari pembiayaan kredit komersial Bank BRI dan BCA (Export Credit Agency/ECA).
Usai dilakukan proses lelang yang ditunjuk sebagai pemenang adalah KSO BRN sebagaimana Surat Persetujuan Direksi Nomor: 178 Tahun 2008 tanggal 11 Desember 2008 yang ditandatangani Dirut PT PLN saat itu, tentang Penetapan Pemenang Pengadaan Barang/Jasa melalui Pelelangan Umum untuk Pengadaan PLTU 1 Kalbar.
KSO BRN ditunjuk pemenang lelang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dalam tahap prakualifikasi dan evaluasi penawaran administrasi serta teknis dalam proses pelelangan.
KSO BRN tidak memiliki pengalaman membangun pembangkit tenaga uap minimal 25 MW.
Adapun dalam perjanjian konsorsium dengan tambahan peserta OJSC POWER MACHINES yang memiliki pengalaman pembangunan pembangkit tenaga uap minimal 25 MW baru disusulkan kemudian.
KSO BRN juga tidak menyerahkan Laporan Keuangan Tahun 2007 (audited) dan akumulasi laba bersih konsorsium berdasarkan Laporan Keuangan Tahun 2006 (audited) tidak memenuhi minimum persyaratan yaitu sebesar Rp7.500.000.000.
KSO BRN tidak menyampaikan Dokumen Surat Ijin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (SIUJKA) atau statement letter dari penanggung jawab.
Selanjutnya pada 11 Juni 2009 dilakukan penandatanganan kontrak sebagaimana Kontrak Pekerjaan Nomor: 370.PJ/041/DIR/2009 yang ditandatangani antara RR selaku Dirut PT. BRN mewakili konsorsium BRN dengan FM selaku Dirut PT. PLN (persero) dengan nilai kontrak sebesar USD 80 Juta dan Rp507 miliar atau sekitar Rp1,2 triliun.
Setelah kontrak, PT. BRN mengalihkan seluruh pekerjaan proyek pembangunan PLTU 1 Kalbar kepada pihak ketiga yaitu PT. PI dan QJPSE (Perusahaan energi asal Tiongkok) pada 28 Desember 2009.
Terhadap pekerjaan dilakukan telah diaddendum sebanyak sepuluh kali, sejak pertama dilakukan pada tanggal 13 April 2011 dan yang terakhir pada tanggal 31 Agustus 2018.
Dalam pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak ketiga, pembangunan PLTU mengalami kegagalan sehingga tidak dapat dimanfaatkan sejak tahun 2016.
Laporan hasil pemeriksaan investigatif oleh Auditorat Utama Investigasi BPK RI terdapat indikasi kerugian keuangan negara sebesar kurang lebih USD 62,410 juta dan Rp323,2 miliar
Diduga terdapat aliran dana dari KSO BRN melalui PT. PI kepada para pihak yang terkait suap dalam pekerjaan pembangunan PLTU.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.