PTUN Jakarta Tolak Gugatan Loka Taru soal Pencopotan Mendes Yandri: Tak Ada Alasan Hukum
PTUN Jakarta menolak gugatan Loka Taru terkait desakan pemberhentian Menteri Desa Yandri Susanto
TRIBUNNEWS.COM - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan menolak gugatan yang diajukan oleh Yayasan Citta Loka Taru melalui putusan Nomor 130/G/TF/2025/PTUN.JKT tertanggal 9 September 2025.
Yayasan Citta Loka Taru menggugat Presiden Republik Indonesia sebagai Tergugat, serta Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto sebagai Tergugat II Intervensi. Objek gugatan adalah tindakan administratif Presiden yang tidak memberhentikan atau mengganti Yandri Susanto sebagai Mendes PDT pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 70/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 24 Februari 2025, sebagaimana permohonan Penggugat tertanggal 26 Februari 2025 dengan Nomor 23/SK-IT/I1/2025.
Pihak Tergugat menyatakan bahwa Penggugat tidak memiliki kepentingan hukum yang dirugikan terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 70/PHPU.BUP-XXIII/2025.
Objek sengketa bukan merupakan sengketa Tata Usaha Negara karena Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 70/PHPU.BUP-XXIII/2025 merupakan sengketa Pilkada yang telah diputus di Mahkamah Konstitusi dan telah dilaksanakan amarnya, yaitu Pemilihan Suara Ulang.
Baca juga: Kemendes Siap Tindaklanjuti Rekomendasi BPK Usai Raih WTP
Tindakan Presiden yang tidak memberhentikan atau mencopot Tergugat II Intervensi sebagai Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal sebagaimana dikaitkan Penggugat atas Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 70/PHPU.BUP-XXIII/2025, bukanlah perbuatan melawan hukum dan tidak bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Jawaban Tergugat dikuatkan dengan saksi fakta dari Kementerian Sekretariat Negara, yakni Muhammad Zulkarnaen, Kepala Biro Administrasi Pejabat Negara, yang menyatakan bahwa Biro Administrasi Pejabat Negara tidak melakukan analisis terkait pengangkatan dan pemberhentian menteri karena semua itu merupakan hak prerogatif Presiden.
Pihak Tergugat juga menghadirkan dua orang saksi ahli, yaitu Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul, Prof. Dr. Juanda, S.H., M.H., yang menjelaskan bahwa Penggugat hanya mendalilkan mengalami kerugian karena didasarkan pada asumsi Penggugat yang telah membayar pajak. Pajak yang dibayar oleh Penggugat tersebut digunakan untuk membiayai Pemilihan Suara Ulang Pemilukada Bupati Kabupaten Serang, tetapi tidak dapat dibuktikan secara konkret.
"Tidak ditemukan kalimat yang sifatnya imperatif-naratif dari Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Nomor 70/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang memerintahkan agar Tergugat memberhentikan Tergugat II Intervensi, oleh karena itu secara legal formil dan legal materil maka tidak ada alasan dan kewajiban hukum bagi Tergugat untuk memberhentikan Tergugat II Intervensi," demikian keterangan Prof. Juanda.
Pernyataan Penggugat yang menyebut bahwa secara hukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Overheidsdaad), mengharuskan Penggugat untuk dapat membuktikan adanya tindakan secara nyata dan langsung yang merugikan kepentingan Penggugat akibat tindakan Tergugat dan Tergugat II Intervensi yang tidak sesuai dengan asas legalitas, norma peraturan perundang-undangan, dan AUPB.
Saksi ahli lainnya, yaitu mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. Maruarar Siahaan, S.H., M.H., menjelaskan bahwa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Nomor 70/PHPU.BUP-XXIII/2025 dalam praktiknya, apabila sudah ada bukti campur tangan, maka bunyi putusan bukan “perhitungan suara ulang” tetapi “diskualifikasi.”
Menurutnya, pemberhentian harus tegas di mana putusannya untuk dilaksanakan, tetapi kalau belum ada, maka tidak dapat didasarkan pada idealisme bahwa integritas seorang menteri yang menjadi pembantu Presiden hanya ditegaskan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Keterbatasan Putusan Mahkamah Konstitusi adalah hanya berlaku untuk sengketa Pemilu, baik untuk menentukan perhitungan suara atau membatalkan hasil, tetapi tidak dapat digunakan untuk pemberhentian menteri karena memiliki proses tersendiri.
“Dan untuk itulah due process of law harus bisa diberikan kepada orang yang dituduh melakukan nepotisme, harus berdasarkan bukti yang otentik. Kalau terbukti otentik maka harus diskualifikasi, bukan pemungutan suara ulang,” pungkas Maruarar.(*)
Baca juga: Tutut Soeharto Gugat Kementerian Keuangan ke PTUN, Kemenkeu Bilang Belum Terima Suratnya
Sidang Praperadilan Nadiem Makarim terkait Kasus Chromebook Digelar Hari Ini di PN Jaksel |
![]() |
---|
Saat Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR Digugat ke MK |
![]() |
---|
Siapa Anthony Lee? Mahasiswa yang Nekat Gugat Presiden Prabowo dan Kapolri Rp 2,4 T |
![]() |
---|
Prabowo dan Listyo Sigit Digugat Rp 2,4 T atas Demo Rusuh Agustus, Tergugat Absen Lagi |
![]() |
---|
Nikita Mirzani Cabut Gugatan Wanprestasi ke Reza Gladys Senilai Rp 114 Miliar, Fokus ke Hal Lain |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.