Pasal 21 UU Tipikor Dinilai Miliki Tafsir Kabur, 18 Akademisi Hukum Ajukan Amicus Curiae ke MK
18 akademisi hukum pidana dari berbagai universitas di Indonesia menyerahkan dokumen amicus curiae atau sahabat pengadilan ke MK.
Ringkasan Berita:
- Akademisi menilai Pasal 21 UU Tipikor tidak memiliki batasan hukum yang jelas
- Akademisi meminta MK memberikan tafsir pembatasan terhadap pasal 21 UU Tipikor
- Pasal 21 UU Tipikor dinilai buka peluang terjadi kriminalisasi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - 18 akademisi hukum pidana dari berbagai universitas di Indonesia menyerahkan dokumen amicus curiae atau sahabat pengadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Nomor 136/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 163/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Hasto Kristiyanto.
Diketahui, perkara ini menguji Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Tipikor yang mengatur delik obstruction of justice.
Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor berbunyi:
"Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Para akademisi menilai pasal tersebut mengandung norma yang kabur, melanggar asas legalitas, dan berpotensi menyebabkan kriminalisasi berlebihan.
Baca juga: DPR Kritik Pasal UU Tipikor yang Jerat Hasto: Multitafsir, Bisa Dipakai Sesuai Kepentingan
Dalam dokumen setebal puluhan halaman, para akademisi menyoroti frasa ‘mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung’ dalam
Ketidakjelasan ini dianggap bertentangan dengan asas lex certa dan lex stricta dalam hukum pidana.
"Tidak ada parameter yang pasti mengenai perbuatan apa yang tergolong ‘tidak langsung’. Akibatnya, aparat penegak hukum bisa menafsirkan secara bebas bahkan terhadap tindakan yang sah seperti pengajuan praperadilan, nasihat advokat, atau sikap diam," tulis para amici yang disampaikan Prof Deni Setya Bagus Yuherawan dari Universitas Trunojoyo Madura dalam keterangan yang diterima, Minggu (12/10/2025).
Baca juga: Hakim MK Heran, DPR Justru Sepakat dengan Hasto yang Sebut Pasal 21 UU Tipikor Inkonstitusional
Dokumen amici, lanjut Prof Deni, sudah diserahkan ke MK pada Kamis (9/10/2025).
Mereka menegaskan tafsir bebas tersebut melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi dan menimbulkan praktik over kriminalisasi.
Para akademisi juga menyoroti tidak adanya unsur ‘melawan hukum’ dalam pasal tersebut.
Sehingga, tindakan legal seperti pembelaan diri di pengadilan dapat dianggap menghalangi penyidikan.
Mereka juga mempertanyakan proporsionalitas ancaman pidananya.
"Pasal 21 bukanlah tindak pidana korupsi pokok, melainkan delik umum. Namun ancamannya justru paling berat, sehingga tidak proporsional," kata para amici.
Para ahli hukum yang terdiri dari profesor dan doktor seperti Prof Tongat dari Universita Muhammadiyah Malang, Prof Mahmutarom HR dari Universitas Wahid Hasyim Semarang, dan Prof Rena Yulia dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, meminta MK memberikan tafsir pembatasan terhadap pasal ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.