Selasa, 28 Oktober 2025

Wawancara Eksklusif

VIDEO EKSKLUSIF Saat Tekanan Ekonomi dan Mental Membuat Orang Tua Lakukan Kekerasan Anak di Rumah

“Rasa-rasanya hari ini tuh, anak itu kayak nggak punya tempat yang aman,” ujar Margaret dengan nada prihatin.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rumah seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak untuk tumbuh, berlindung, belajar, dan merasakan kasih sayang keluarga.

Namun, bagi Sebagian anak di Indonesia, rumah justru berubah menjadi tempat paling berbahaya dan menakutkan.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Margaret Aliyatul Maimunah, menyoroti meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak, termasuk yang dilakukan oleh orang tua sendiri.

Ia menyampaikan keprihatinan dalam wawancara eksklusif bersama Tribun Network di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, Kamis (23/10/2025).

“Rasa-rasanya hari ini tuh, anak itu kayak nggak punya tempat yang aman,” ujar Margaret dengan nada prihatin.

“Sampai kekerasan seksual loh Mbak terjadi di rumah yang seharusnya jadi tempat pelindung anak, dengan pelaku yang harusnya melakukan pelindungan. Kita sering mendengar ya kalau pelakunya adalah orang tua.”

KPAI - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Margaret Aliyatul Maimunah di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, pada Kamis (23/10/2025)..
KPAI - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Margaret Aliyatul Maimunah di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, pada Kamis (23/10/2025).. (Tribunnews.com/ Imanuel Nicolas Manafe)

Keprihatinan itu mencuat setelah sejumlah kasus tragis kembali menggemparkan publik.

Seorang anak perempuan berusia 6 tahun di Bojonggede, Bogor, tewas setelah diduga dianiaya ibu tirinya selama tiga hari berturut-turut. 

Di Majalengka, anak laki-laki 11 tahun ditemukan tak bernyawa di toilet bak mandi musala, diduga menjadi korban pembunuhan oleh pria dengan kelainan seksual.

Tak kalah memilukan, seorang anak perempuan 11 tahun di Cilincing, Jakarta Utara, tewas dibunuh oleh pria yang sakit hati karena sering ditagih utang oleh ibu korban.

Baca juga: VIDEO WAWANCARA EKSKLUSIF Yusron Ihza: CIA, Pembunuhan Kennedy, Irian Barat, dan Tragedi 1965

Terus Meningkat

Margaret mengungkapkan, hingga Oktober 2025, KPAI telah menerima 241 pengaduan kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap anak. 

Angka ini sudah melampaui total kasus sepanjang 2024 yang berjumlah 240.

“Ini artinya terjadi peningkatan, karena kan ini belum tutup tahun juga,” jelasnya.

Di sektor pendidikan, KPAI mencatat 45–48 kasus kekerasan sepanjang 2025, sementara tahun lalu tercatat 85 kasus. 

Namun, Margaret mengingatkan angka tersebut hanyalah fenomena gunung es — karena banyak kasus tidak dilaporkan.

Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) juga memperlihatkan kondisi yang mengkhawatirkan.

Dari sekitar 7.600 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tercatat tahun ini, 53 persen di antaranya menimpa anak-anak, dan 19,45 persen pelakunya adalah orang tua kandung atau tiri.

“Satu kasus saja sebenarnya sudah cukup jadi perhatian. Tapi ketika dari 7.600 kasus, hampir 20 persen pelakunya orang tua, ini harus menjadi atensi,” tegas Margaret.

Rumah yang Tak Lagi Aman

Bagi Margaret, kenyataan bahwa rumah justru menjadi tempat terjadinya kekerasan adalah hal yang paling menyedihkan.

“Kenapa mesti anak? Di rumah yang seharusnya menjadi tempat dia mendapatkan perlindungan, justru anak rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan, sampai kekerasan seksual loh, dengan pelaku yang seharusnya melindungi,” jelasnya.

Ia menambahkan, kekerasan juga banyak terjadi di satuan pendidikan — tempat yang seharusnya menjadi ruang tumbuh dan belajar anak.

“Di sekolah pun sama. Yang harusnya anak berkembang dan belajar, justru ternyata anak-anak juga rentan menjadi korban kekerasan apapun bentuknya, bahkan kekerasan seksual,” tegasnya.

Anak Harus Berani Bicara

Margaret menekankan pentingnya keberanian anak untuk bersuara jika mengalami kekerasan — baik fisik, psikis, maupun seksual.

“Kalau anak sudah paham, apapun usianya, anak harus bebas dari segala bentuk kekerasan,” ujarnya.

Namun, ia juga memahami untuk melaporkan orang tua sendiri bukan hal mudah.

“Kalau pelakunya orang tua, anak bisa mencari perantara — keluarga yang disegani atau didengerin sama orang tua. Kalau tidak guru di sekolah, atau tetangga yang dipercaya. Tapi itu nggak boleh didiamkan, harus disampaikan,” katanya menegaskan.

Margaret juga menegaskan perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tapi juga keluarga besar, masyarakat, dan negara.

“Perlindungan anak adalah kewajiban bersama. Keluarga, masyarakat, bahkan lingkungan sekitar, semua punya peran penting dalam menjaga anak dari kekerasan,” jelasnya.

Ketika Orang Tua Menjadi Pelaku

Menjawab pertanyaan mengapa banyak kasus kekerasan justru dilakukan oleh orang tua? Margaret mengungkapkan, banyak faktor yang saling berkaitan — mulai dari tekanan ekonomi, gangguan mental, hingga luka pengasuhan masa lalu.

“Bisa jadi orang tua punya problem individu, pernah diasuh dengan kekerasan, punya tekanan ekonomi, atau problem relasi suami-istri. Semua itu bisa jadi pemicu,” jelasnya.

Menurutnya, banyak orang tua saat ini mengalami stres berat dan tidak memiliki kemampuan mengelola emosi dalam pengasuhan.

“Orang tua banyak yang stres sebenarnya. Banyak yang mentalnya terganggu, tapi tidak sadar,” ujarnya.(*/Malau)

Mari saksikan wawancara eksklusif lengkapnya hanya di kanal YouTube Tribunnews!

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved