Kamis, 30 Oktober 2025

Hari Sumpah Pemuda

20 Puisi Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2025 Karya Chairil Anwar, Taufiq Ismail, hingga Widji Thukul

Berikut ini kumpulan 20 puisi Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2025 yang bisa kamu bagikan ke media sosial.

|
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
HARI SUMPAH PEMUDA - Petugas membersihkan pajangan diorama di Museum Sumpah Pemuda, Jakarta, Rabu (27/10/2021). Berikut ini kumpulan 20 puisi Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2025 yang bisa kamu bagikan ke media sosial. 

TRIBUNNEWS.com - Berikut ini kumpulan 20 puisi Hari Sumpah Pemuda.

Hari Sumpah Pemuda tahun ini jatuh pada Selasa, 28 Oktober 2025, besok.

Tema Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2025 adalah "Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu".

Peringatan Hari Sumpah Pemuda dilatarbelakangi ikrar para pemuda nusantara yang bersatu dalam Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928.

Hari Sumpah Pemuda ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959 yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 16 Desember 1959.

Untuk merayakannya sekaligus menghargai perjuangan pemuda di masa lalu, kita bisa mengirim puisi kepada teman atau untuk status media sosial.

Dirangkum Tribunnews.com, berikut ini 20 kumpulan puisi Hari Sumpah Pemuda:

Baca juga: 40 Poster Hari Sumpah Pemuda 2025, Bisa Edit dan Download Gratis

1. Prajurit Jaga Malam karya Chairil Anwar

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu? 
Pemuda-pemuda yang lincah tua-tua keras, 
Bermata tajam 
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya 
Kepastian 

Ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini 
Aku suka pada mereka yang berani hidup 
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam 
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu…. 
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

2. Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini karya Taufiq Ismail

Tidak ada pilihan lain
Kita harus berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
"Duli Tuanku?"

Tidak ada lagi pilihan lain

Kita harus berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh

Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus

3. Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.

4. Penghidupan karya Chairil Anwar

Lautan maha dalam
Mukul dentur selama
Nguji tenaga pematang kita
Mukul dentur selama
Hingga hancur remuk redam Kurnia Bahagia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.

5. Merdeka karya Chairil Anwar

Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida

Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah kumamah

Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang

Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang

Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.

6. Takut 66, Takut 98 karya Taufiq Ismail

Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa.

7. Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis, Lalu Kalian Paksa Kami Masuk Penjajahan Baru, Kata Si Toni karya Taufiq Ismail

Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri
Gara‐gara pewarisan nilai, sangat dipaksa‐tekankan
Kalian bersengaja menjerumuskan kami‐kami
Sejak lahir sampai dewasa ini
Jadi sangat tepergantung pada budaya
Meminjam uang ke mancanegara
Sudah satu keturunan jangka waktunya
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi
Kalian paksa‐tekankan budaya berhutang ini
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi
Karena rendah diri pada bangsa‐bangsa dunia
Kita gadaikan sikap bersahaja kita
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia
Mereka negara multi‐kolonialis dengan elegansi ekonomi
Dan ramai‐ramailah mereka pesta kenduri
Sambil kepala kita dimakan begini
Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni
Mereka mengerkah kepala kita bersama‐sama
Menggigit dan mengunyah teratur berirama

Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi
Dicengkeram kuku negara multi‐kolonialis ini
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya
Meminjam kepeng ke mancanegara
Dari membuat peniti dua senti
Sampai membangun kilang gas bumi
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa

Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami
Kalian lah yang membuat kami jadi begini
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini

8. Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya karya Taufiq Ismail

Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan datam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka

Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, Bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
"Hidup tukang rambutan!" Hidup tukang rambutani
Dan menyoraki saya. Betul Bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, Bu
Mengejar dan menyalami saya
Hidup Pak Rambutan sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
"Hidup Pak Rambutan!" sorak mereka
Terima kasih, Rak, terima kasih!
Bapak setuju karni, bukan?
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
Doakan perjuangan kami, Pak
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
"Hidup Pak Rambutan! Hidup rakyat!"
Saya tersedu, Bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.

9. Dengan Puisi, Aku karya Taufiq Ismail

Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti

Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang
Keabadian yang akan datang

Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris

Dengan puisi aku mengutuk
Napas zaman yang busuk

Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya.

10. Malam Rindu karya Joko Pinurbo

Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir.
Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku
ke pelukanmu dengan cara seksama
dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul
dari sebutir dengki atau sebongkah trauma,
mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong
pencarindu di bibirku, dan aku gagal
mengobarkan Sumpah pemuda di bibirmu.

11. Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair karya Wiji Thukul

...
Indonesia! satu tanah airku, satu bangsaku, satu bahasaku
Pulau kita di ujung sana
Dan pulau kita di ujung sana adalah kepulauan kita
Bukan lumbung padi jepang, china, atau amerika

Bangsa kita di ujung sana dan di sudut situ
Bukan hanya milik para nelayan yang dibelit utang
Juga bukan cuma milik kaum petani
Yang gagal panennya dikhianati kemarau panjang
Bukan pula milik satu-dua tauke atau juragan atau cukong!

Bahasa kita adalah bahasa Indonesia benar
Bukan bahasa yang gampang dibolak-balik artinya oleh penguasa
BBM adalah singkatan dari Bahan Bakar Minyak
Bukan Bolak Balik Mencekik

Maka berbicara tentang nasib rakyat
Tidak sama dengan PKI atau malah dicap anti-Pancasila
Itu namanya manipulasi bahasa
Kita harus berbahasa Indonesia yang baik dan benar,
Kata siapa kepada siapa.

12. Gema Sumpah Pemuda karya Sitor Situmorang

Satu Bahasa: Jiwa Merdeka
Satu Semangat: Peri-Kemanusian
Terpadu dalam getaran jiwa
Sumbangan kita: Roh Budaya Indonesia

Jangan kau pernah berhenti
Menyanyikan lagu cinta tanah-airmu

Disertai janji pengabdian
Sedalam-dalamnya!
Selama hayat dikandung badan!

13. Sajak Bulan Mei 1998 karya WS Rendra

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah

O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
Bahwa hukum harus lebih tinggi
Dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
Adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara

14. Wahai Pemuda Mana Telurmu? karya Sutardji Calzoum Bachri

Apa gunanya merdeka
kalau tak bertelur?
Apa gunanya bebas
kalau tak menetas?

Wahai bangsaku
Wahai Pemuda
mana telurmu?

Burung  jika tak bertelur
tak menetas
sia-sia saja terbang bebas.

Kepompong menetaskan  kupu-kupu
Kuntum membawa bunga
Putik jadi buah
Buah menyimpan biji
menyimpan mimpi
menyimpan pohon
dan bunga-bunga.

Uap terbang menetas awan
Mimpi jadi, sungai pun jadi
menetas jadi
Hakekat lautan.

Setelah ku pikir-pikir
manusia ternyata burung berpikir

Setelah ku renung-renung
manusia adalah burung merenung

Setelah bertafakur
tahulah aku
manusia harus bertelur.

Burung membuahkan telur
Telur menjadi burung
Ayah menciptakan anak 
Anak melahirkan ayah

Wahai pemuda
Wahai Garuda
menetaslah
lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini!

Menetaslah
seperti dulu
Para pemuda
bertelur emas

Menetas Kau
Dalam sumpah mereka.

15. Sumpah Sakti karya Sanusi Pane

Terdengar suara kepada kami,
Melayang di atas gempar dunia:
Percaya datang zamannya nanti
Kaum marhaen jadi mulia.
Akan sama pembagi harta,
Orang semua mendapat nasi;
Sehingga bumi jadi sentosa
Tidak tahu perbantahan lagi.

Kami bersorak gegap gempita,
Merasa diri kuat kembali,
Mata berjaya: Intan Juwita,
Bagai memandang tanah dicari.
Semenjak itu kami berjuang
Penuh harapan, gagah berani.
Biar terlempar ke dalam jurang,
Teringat juga sumpah yang sakti.

16. Kristus di Medan Perang karya Sitor Situmorang

Ia menyeret diri dalam lumpur
mengutuk dan melihat langit gugur
Jenderal pemberontak segala zaman,
Kuasa mutlak terbayang di angan!

Tapi langit ditinggalkan merah,
pedang patah di sisi berdarah,
Tapi mimpi selalu menghadang,
Akan sampai di ujung: Menang!

Sekeliling hanya reruntuhan.
Jauh manusia serta ratapan,
Dan di hati tersimpan dalam:
Sekali 'kan dapat balas dendam!

Saat bumi olehnya diadili,
dirombak dan dihanguskan,
Seperti Cartago, habis dihancurkan,
dibajak lalu tandus digarami.

Tumpasnya hukum lama,
Menjelmanya hukum Baru,
Ia, yang takkan kenal ampun,
Penegak Kuasa seribu tahun!

17. Kesadaran Berkonstitusi karya Sitor Situmorang

Sadar berkonstitusi – padamu berarti –
sadar bersejarah sadar berbangsa –
dari amal dan ajaranmu –
berarti: sadar beralam lingkungan

Tempaan setiakawan paguyuban
beralam nusantara-bahari
nelayan buruh tani pedesaan
sadar berpaguyuban bertanah air

Manusia Indonesia rindu pembaharuan
keadilan kemakmuran, membanting tulang,
demi kemakmuran keadilan –
dwi-tunggal pembangunan sejati

Berdasarkan konstitusi-hati konstitusi kemerdekaan
tersurat di proklamasi tergurat pengurbanan
darah tenaga pikiran usia
pejuang demokrasi menguasai ilmu
sebenar ilmu

Amanat puluhan juta manusia Indonesia
pemrakarsa modernisasi sejati, yakni

Merdeka lahir-batin: Induk segala ilmu
menegakkan kearifan kebebasan berkarya

Membongkar manipulasi rohani dan ekonomi
oleh penjajahan lama penjajahan baru
penjegal gagasan 45
bertopeng ilmu

18. Peringatan karya Widji Thukul

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gasat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

19. Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu karya Widji Thukul

apa guna punya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli

apa gunanya banyak baca bukuRak buku
kalau mulut kau bungkam melulu

di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
dengan kaum cukong.

di desa-desa
rakyat dipaksa
menjual tanah
tapi, tapi, tapi, tapi
dengan harga murah.

apa guna punya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli

apa guna banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu.

20. Apa Penguasa Kira karya Widji Thukul

Apa penguasa kira
rakyat hidup di hari ini saja

Apa penguasa kira
ingatan bisa dikubur
dan dibendung dengan moncong
tank

Apa penguasa kira
selamanya ia berkuasa
tidak!
tuntutan kita akan lebih panjang
umur
ketimbang usia penguasa

Derita rakyat selalu lebih tua
walau penguasa baru naik
mengganti penguasa lama

Umur derita rakyat
panjangnya sepanjang umur
peradaban

Umur penguasa mana
pernah melebihi tuanya umur batu
akik
yang dimuntahkan ledakan gunung
berapi?

Ingatan rakyat serupa bangunan
candi
kekejaman penguasa setiap jaman
terbaca di setiap sudut dan sisi
yang menjulang tinggi.

(Tribunnews.com)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved