Rabu, 5 November 2025

KPK Beberkan Modus Jual Beli Proyek Dana Pokir DPRD di Dinas PUPR OKU, Mirip Kasus Pokir di Jatim

Modus korupsi pengadaan barang dan jasa di OKU ini mirip dengan kasus dana pokir di Jawa Timur, yakni adanya jual beli proyek.

Tribunnews.com/ Ilham Rian Pratama
KORUPSI DI OKU - Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan modus operandi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan. Praktik haram ini terungkap seiring penetapan empat tersangka baru oleh lembaga antirasuah. 

Ringkasan Berita:
  • KPK mengungkap modus korupsi pengadaan barang dan jasa di OKU mirip dengan kasus dana pokok-pokok pikiran (pokir) di Jawa Timur, yakni adanya jual beli proyek
  • Anggota DPRD yang mengusulkan dana pokir tersebut diduga menerima fee dari pihak swasta yang ingin mengerjakan proyek
  • Kualitas proyek yang dihasilkan menjadi tidak maksimal karena anggarannya sudah terpotong untuk fee
 


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan modus operandi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan. 

Praktik haram ini terungkap seiring penetapan empat tersangka baru oleh lembaga antirasuah.

Baca juga: Kasus Korupsi PUPR OKU, KPK Panggil Pj Bupati Iqbal Alisyahbana ke Polda Sumsel

Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan, modus korupsi di OKU ini mirip dengan kasus dana pokok-pokok pikiran (pokir) di Jawa Timur, yakni adanya jual beli proyek.

"Di OKU ini kan adanya dugaan penyalahgunaan dana pokir yang dititipkan proyeknya di PUPR, sehingga di situ ada modus-modus semacam, apa namanya, jual beli proyek," kata Budi kepada wartawan, Kamis (30/10/2025).

Budi memerinci, anggota DPRD yang mengusulkan dana pokir tersebut diduga menerima fee dari pihak swasta yang ingin mengerjakan proyek. 

 

 

Anggaran pokir itu masuk ke dalam APBD dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)-nya berada di Dinas PUPR untuk dijadikan proyek.

"Pihak-pihak swasta inilah yang kemudian semacam setor uang, sekian persen untuk anggota DPRD," jelas Budi.

Budi menegaskan praktik lancung ini berdampak kronis bagi masyarakat. 

Kualitas proyek yang dihasilkan menjadi tidak maksimal karena anggarannya sudah terpotong untuk fee.

Ia mencontohkan kasus serupa di Jawa Timur di mana pembangunan fisik proyek hanya terealisasi 50–60 persen dari total anggaran yang disiapkan.

"Artinya banyak kebocoran, separuh anggaran yang bocor. Nah ini kan ironis, ya kan? Masyarakat menjadi tidak mendapatkan fasilitas publik dengan baik, hanya mendapatkan setengah dari anggaran yang semestinya digunakan untuk membangun," paparnya.

Empat Tersangka Baru

Pengungkapan modus ini sejalan dengan langkah KPK yang kembali menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru pada Oktober 2025 dan menetapkan empat orang sebagai tersangka. 

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved