Revisi UU TNI
Sidang Perdana Uji Materi UU TNI Hari Ini, Poin-poin yang Digugat
Advokat Syamsul Jahidin dan Ratih Mutiara Louk Fanggi mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap pasal pada UU TNI
Ringkasan Berita:
- Hari ini di Mahkamah Konstitusi, sidang pemeriksaan pendahuluan digelar untuk menguji materi pasal pada UU TNI
- Pasal pada UU TNI digugat oleh Syamsul Jahidin dan Ratih Mutiara, dua advokat
- Mereka menyoroyi aturan prajurit TNI aktif bisa menduduki jabatan di berbagai instansi sipil tanpa pensiunÂ
TRIBUNNEWS.COMÂ - Hari ini Jumat (7/11/2025) sidang perdana pengujian materiil terhadap pasal pada Undang-Undang TNI (UU TNI) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK).
Perkara yang telah tergistrasi dengan nomor 209/PUU-XXIII/2025 ini jadwalnya dimulai pada pukul 08.30 WIB.
Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan menyangkut Pengujian Materiil Undang-undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Adapun penggugatnya adalah dua avdokat bernama Syamsul Jahidin dan Ratih Mutiara Louk Fanggi.
Materi yang digugat yakni Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Isi dari pasal tersebut memperbolehkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan di berbagai instansi sipil strategis tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun.
"Ini bisa membuka celah bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan strategis di instansi sipil tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas militer, melanggar UUD 1945 ini," tegasnya kepada Tribunnews.com, Jumat pagi.
Syamsul juga menilai, adanya pasal tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta mengancam supremasi sipil yang menjadi fondasi sistem demokrasi pascareformasi.
Dalam permohonannya, Syamsul dan Ratih menyoroti ambiguitas norma yang dinilai berpotensi disalahgunakan oleh penguasa, menimbulkan tumpang tindih yurisdiksi hukum, dan melemahkan prinsip checks and balances.
"Kami memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal dan memastikan bahwa setiap norma hukum yang berlaku tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum, yang menjadi dasar terciptanya rasa keadilan, kepastian hukum, serta tegaknya supremasi hukum dan supremasi sipil," jelasnya.
Syamsul dan Ratih juga mengutip Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 yang secara tegas menyatakan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun.Â
Ketentuan Pasal 47 ayat (1) dinilai bertentangan dengan ketetapan tersebut dan berisiko menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer yang telah ditolak oleh gerakan reformasi 1998.
Lebih lanjut, para pemohon menilai keberadaan prajurit aktif dalam jabatan sipil dapat mengganggu transparansi, akuntabilitas publik, dan netralitas militer.
Keduanya juga menyoroti kasus konkret di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, di mana sejumlah jabatan sipil telah diisi oleh prajurit TNI aktif.
Kondisi ini dinilai menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi warga sipil yang memiliki kualifikasi serupa.
Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi agar menyatakan Pasal 47 ayat (1) UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai secara ketat dengan mengedepankan prinsip supremasi sipil.
Pihaknya menegaskan bahwa dalam negara hukum yang demokratis, pengisian jabatan sipil harus dilakukan oleh aparatur sipil yang bebas dari intervensi militer, demi menjaga integritas sistem pemerintahan dan kepercayaan publik.
"Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian normatif dan sistemik terhadap lembaga-lembaga yang disebutkan dalam Pasal 47 ayat (1) UU TNI, guna menentukan secara tegas mana yang termasuk bagian dari sistem pertahanan negara, sehingga konstitusional untuk ditempati oleh prajurit TNI aktif, dan mana yang bukan, sehingga penempatan tersebut menjadi inkonstitusional," tambah dia.
Gugatan Koalisi Masyarakat Sipil
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil kembali melayangkan gugatan ke MK terkait Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI.
Setelah sebelumnya mengajukan uji formil, kali ini koalisi mengajukan uji materiil terhadap sejumlah pasal dalam UU tersebut.
Permohonan ini diajukan oleh lima organisasi masyarakat sipil, yakni Imparsial, YLBHI, KontraS, AJI Indonesia, dan LBH APIK Jakarta.
Selain itu, terdapat pula tiga pemohon individu.
“Selain pemohon organisasi, terdapat juga tiga pemohon perseorangan, yakni: Ikhsan Yosarie, dosen sekaligus peneliti bidang pertahanan SETARA Institute. Dua pemohon lainnya ialah mahasiswa UGM atas nama M Adli Wafi dan M Kevin Setio Haryanto,” kata Arif Maulana saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2025).
Baca juga: TNI Siap Beri Keterangan di MK Terkait Pengujian UU TNI yang Baru, Panglima TNI akan Hadir?
Arif menjelaskan bahwa UU TNI memuat sejumlah persoalan serius, baik dari sisi substansi maupun proses pembentukannya.
Salah satu pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9, yang dinilai memberikan kewenangan kepada TNI untuk menangani aksi mogok dan konflik komunal.
Padahal, menurut Arif, hak untuk menyuarakan pendapat, termasuk mogok, dijamin dalam konstitusi.
“Pelibatan militer dalam menghadapi pemogokan pekerja berarti menempatkan tindakan sipil yang sah sebagai ancaman keamanan negara. Selain itu, frasa 'konflik komunal' dalam pasal tersebut bersifat multitafsir dan karet, karena tidak dijelaskan batasan hukumnya,” ucap dia.
Permasalahan lain yang disoroti adalah ketentuan mengenai operasi militer selain perang (OMSP) yang dinilai membuka celah penyalahgunaan wewenang dan mengaburkan kontrol sipil atas militer.
“Koalisi menilai pengaturan ini adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil yang telah menjadi fondasi utama demokrasi pasca-reformasi 1998,” ucap dia.
Pasal 47 ayat (1) juga menjadi sorotan karena memberikan legitimasi bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil, yang dinilai dapat mengganggu independensi lembaga-lembaga sipil.
Sementara itu, Pasal 53 yang mengatur perpanjangan usia pensiun perwira tinggi TNI dianggap berpotensi menimbulkan ketimpangan dalam jenjang karier.
“Koalisi menilai pasal ini memperkuat feodalisme internal militer dan mengancam efektivitas struktur komando,” kata Arif.
Tak hanya itu, Koalisi juga menggugat Pasal 74 UU TNI yang dinilai menghambat penerapan peradilan umum terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum.
Atas dasar itu, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal tersebut inkonstitusional dan mengembalikan UU TNI ke bentuk semula sebelum direvisi.
Daftar 14 Lembaga atau Kementerian yang Dapat Diduduki TNI Aktif:
- Kementerian Koordinator Bidang Politik
- Kementerian Pertahanan
- Sekretariat Militer Presiden
- Badan Intelijen Negara
- Badan Siber dan Sandi Negara
- Lembaga Ketahanan Nasional
- Dewan Pertahanan Nasional
- Badan SAR Nasiona
- Badan Narkotika Nasional
- Mahkamah Agung
- Kejaksaan Agung
- Badan Keamanan Laut
- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(Tribunnews.com/ Chrysnha)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.