Wawancara Eksklusif
VIDEO WAWANCARA EKSKLUSIF Putri Gus Dur Tolak Gelar Pahlawan Soeharto: Luka Lama Bisa Meradang Lagi
"Selama PR itu belum diselesaikan, maka sebetulnya kita belum bisa menyebut beliau sebagai pahlawan nasional"
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, menuai reaksi beragam dari berbagai kalangan.
Salah satu suara datang dari Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, putri sulung Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga Direktur Nasional Jaringan Gusdurian.
Dalam wawancara eksklusif bersama Tribunnews di program On Focus, Senin (10/11/2025), Alissa menyebut pemberian gelar tersebut masih prematur.
Menurutnya, masih ada banyak “pekerjaan rumah” sejarah yang belum diselesaikan sebelum bangsa ini bisa benar-benar menyebut Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Alissa kemudian menjelaskan, pemberian gelar Pahlawan Nasional tidak bisa dilepaskan dari tiga kriteria fundamental yang bahkan tertuang dalam Undang-Undang.
Tiga hal itu adalah integritas moral, pengorbanan demi nilai tersebut, dan perjuangan yang membawa manfaat bagi rakyat banyak.
“Dari tiga hal ini, menurut kami masih banyak PR terkait Presiden Soeharto. Selama PR itu belum diselesaikan, maka sebetulnya kita belum bisa menyebut beliau sebagai pahlawan nasional,” ujar Alissa.
“Karena masih ada banyak pihak yang menjadi korban dari kebijakan-kebijakan pada masa Presiden Soeharto.”
Ia juga mengingat kembali masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, yang sempat menggagas pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) — sebuah upaya untuk menyembuhkan luka sejarah bangsa.
Komisi ini bahkan sempat belajar ke Afrika Selatan untuk melihat bagaimana Nelson Mandela berhasil mengobati luka bangsa pasca-apartheid melalui pendekatan keadilan dan pengampunan.
“Nelson Mandela membuat sebuah konsep pendekatan semua pihak yang melakukan pelanggaran HAM harus masuk dulu ke proses pengadilan. Setelah dibuktikan dan mengakui—jadi, kebenarannya sudah muncul—maka semua keluarga korban diminta untuk memaafkan. Itu membuat fase sejarah itu selesai,” jelas Alissa.
Baca juga: Putri Gus Dur Tolak Penganugerahan Pahlawan kepada Soeharto: Akui Korban Sebelum Gelar Diberikan
Melalui proses seperti itu, lanjutnya, para korban dan keluarga korban akan merasa dihargai pengorbanannya.
Mereka diakui sebagai korban, namun juga diberi ruang untuk menutup bab kelam masa lalu dan melangkah maju.
“Yang korban tidak merasa dikhianati, keluarga korban dihargai bahwa mereka memang menjadi korban. Tapi di saat yang sama, mereka juga bisa menutup bab itu, lalu maju ke arah yang lebih progresif menuju kemajuan negaranya,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Alissa menekankan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan bukanlah pemberian gelar, melainkan klarifikasi dan penyelesaian masa lalu melalui proses yang adil dan bermartabat bagi semua pihak, terutama para korban.
“Ketika proses pengungkapan kebenarannya tidak ada, sementara para korban masih menyimpan luka, ya itu bisa meradang. Kita masih punya PR besar soal itu,” ujarnya.(*)
Tonton versi lengkap wawancara eksklusifnya hanya di kanal YouTube Tribunnews!
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.