Ijazah Jokowi
Komisi Percepatan Reformasi Polri Dorong Usulan Kasus Ijazah Jokowi Dimediasi
Komisi Percepatan Reformasi Polri mendorong usulan agar kasus ijazah Jokowi yang menyeret 8 tersangka termasuk Roy Suryo dilakukan tahap mediasi
Ringkasan Berita:
- Muncul gagasan kasus ijazah Jokowi diselesaikan lewat restorative justice
- Persoalan ijazah palsu bukan hal yang baru di Indonesia
- Pada Pilkada 2024 MK menemukan tujuh perkara yang berkaitan dengan ijazah palsu dari total 40 perkara yang disidangkan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Percepatan Reformasi Polri mendorong usulan agar kasus ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang menyeret delapan tersangka Roy Suryo Cs dilakukan tahap mediasi.
Usulan tersebut disampaikan kepada Komisi Percepatan Reformasi Polri saat audiensi dengan kritikus politik Faisal Assegaf di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Jakarta Selatan, Rabu (19/11/2025).
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Prof Jimly Asshiddiqie menyambut baik usulan tersebut.
"Muncul ide-ide antara lain misalnya Pak Assegaf tadi mengusulkan, bagaimana bisa tidak mediasi? Oh bagus itu, coba tanya dulu mau enggak mereka dimediasi, baik pihak Jokowi dan keluarga maupun pihak Roy Suryo dkk, mau enggak dimediasi?" tuturnya.
Jimly menyinggung bahwa sudah ada putusan perdata terkait kasus ijazah palsu Jokowi.
Baca juga: Muncul Ide Mediasi dalam Kasus Ijazah Palsu, Jimly: tapi Jokowi & Roy Suryo Cs Harus Siap Risikonya
Bukan tidak mungkin di dalam proses pidana terjadi proses mediasi pada akhirnya apabila terjadi kesepakatan dilakukan restorative justice (RJ).
Dalam kata lain mediasi dapat menjadi opsi sesuai semangat restorative justice di dalam KUHP dan KUHAP baru.
Jimly kembali menekankan upaya ini dapat terealisasi jika semua pihak bersedia dan memahami konsekuensinya.
Baca juga: Roy Suryo Cs Walk Out Tak Diajak Audiensi, Jimly Asshiddiqie: Tersangka Tidak Boleh Ikut
“Syaratnya Rismon dan kawan-kawan harus bersedia dengan segala konsekuensinya kalau terbukti sah atau terbukti tidak sah, itu masing-masing harus ada risiko,” tegasnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu juga mengingatkan bahwa persoalan ijazah palsu bukan hal yang baru di Indonesia.
Pada 2004, kasus ijazah palsu sangat banyak ditemukan.
“Kasus ijazah palsu itu banyak sekali. Tahun 2004 syarat caleg saja masih SMP. Kami usulkan dinaikkan ke SMA, tapi tetap saja banyak yang bermasalah,” ungkapnya.
Kemudian pada Pilkada 2024 pun MK masih menemukan tujuh perkara yang berkaitan dengan ijazah palsu dari total 40 perkara yang disidangkan.
“Ini tanda administrasi perijazahan dan lembaga publik kita masih sangat buruk,” ujarnya.
“Jadi intinya saudara, kami tidak menolak membicarakan kasus ijazah palsu, cuma kita bicarakan untuk mencari solusi. Tetapi orang yang sudah tersangka, harap dimaklumi kami tidak bisa menerima ya, ini soal etika,” ucap Jimly.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.