Awal Mula Kasus Dugaan Makar 4 Anggota NFRPB yang Picu Aksi Blokade Jalan di Kota Sorong Papua
Aksi blokade jalan sebagai bentuk protes terhadap penahanan aktivis Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB).
Penulis:
Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, SORONG - Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi di Sorong Raya melakukan aksi blokade Jalan Ahmad Yani, Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, Rabu (27/8/2025) pagi.
Jalan Ahmad Yani di Kota Sorong adalah salah satu jalan utama dan paling vital di pusat kota.
Baca juga: Takut Dituduh Makar, Percetakan di Jakarta Enggan Terima Pesanan Bendera One Piece
Jalan ini terletak di Distrik Sorong Manoi, khususnya di kawasan Klaligi.
Jalan Ahmad Yani menjadi akses utama menuju berbagai fasilitas penting seperti kantor pemerintahan, ruko, restoran, dan pusat bisnis.
Awalnya massa berunjuk rasa di depan Kantor Polresta Sorong Kota sejak Selasa (26/8/2025) pukul 21.00 WIT.

Puncaknya sekitar pukul 05.00 WIT. Mereka memblokir Jalan Ahmad Yani, Kota Sorong dengan pohon.
Mereka juga membakar kayu hingga ban bekas.
Aksi itu dilakukan hingga sekitar pukul 06.30 WIT.
Laporan langsung wartawan Tribun Sorong di lokasi, sebagian massa tampak berorasi di depan Kantor Polresta Sorong Kota.
Baca juga: Ramai Bendera One Piece, 4 Pihak Menilai Bukan Tindakan Makar, Negara Diminta Tak Represif
Sementara aparat tampak siaga mengenakan pakaian anti huru hara (PHH).
Aksi blokade jalan sebagai bentuk protes terhadap penahanan aktivis Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) mencerminkan eskalasi ketegangan antara masyarakat sipil dan aparat penegak hukum di Papua Barat Daya.
Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) adalah sebuah kelompok yang mengklaim diri sebagai entitas politik terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kronologi Aksi Blokade Jalan
Senin (25/8/2025) sekitar pukul 22.00 WIT, keluarga dan pendukung empat tahanan politik NFRPB melakukan aksi blokade jalan di depan Kantor Polresta Sorong Kota.
Mereka menutup akses jalan dengan ban bekas, melakukan orasi menggunakan megafon, dan menuntut agar salah satu tahanan, Maksi Sangkek, diizinkan keluar untuk mendapatkan perawatan medis karena kondisi kesehatannya menurun.
Massa mendesak agar Maksi Sangkek dibawa ke rumah sakit karena diduga mengalami penurunan kondisi fisik.
Mereka juga menolak pemindahan tahanan ke Makassar, karena dua dari empat tahanan disebut dalam kondisi tidak stabil.
Menuduh aparat dan kejaksaan melakukan “pembunuhan sistematis terhadap aktivis Papua” melalui penahanan dan pengabaian kondisi kesehatan.
Sementara itu Kejaksaan Negeri Sorong menyatakan bahwa hasil pemeriksaan medis menunjukkan Maksi Sangkek hanya mengalami kelelahan, bukan kondisi serius.
Petugas sempat panik dan menghindari massa ketika keluarga mengejar mereka untuk meminta penjelasan lebih lanjut.
Tidak ada pejabat yang menemui massa secara langsung selama aksi berlangsung.
Aksi sempat memanas ketika beberapa peserta mencoba membakar ban, namun tidak terjadi bentrokan besar.
Blokade berlangsung selama beberapa jam sebelum massa membubarkan diri secara damai.
Alasan Pemindahan Sidang
Ini bukan kali pertama massa melakukan aksi protes.
Sebelumnya, pada 20 Agustus 2025, kelompok Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi menggelar demonstrasi di depan Kantor Gubernur Papua Barat Daya di Kota Sorong.
Mereka memprotes keputusan pemindahan empat tahanan politik NFRPB ke Makassar, Sulawesi Selatan, untuk menjalani persidangan.
Massa menolak pemindahan sidang ke luar Papua, karena dianggap sebagai upaya kriminalisasi terhadap perjuangan politik mereka.
Mereka menuntut agar sidang dilakukan secara transparan dan lokal, agar masyarakat bisa mengawasi langsung.
Aksi dilakukan secara damai, orasi, tarian, poster, dan yel-yel seperti “Bebaskan Tapol Papua Tanpa Syarat”.
Menurut Kejaksaan dan Forkopimda Papua Barat Daya, sidang dipindahkan karena berbagai alasan, di antaranya:
- Situasi keamanan di Sorong dianggap tidak kondusif
- Ancaman bencana alam di wilayah tersebut
Namun para demonstran menilai alasan tersebut tidak berdasar, karena tidak ada bencana besar atau gangguan keamanan nyata saat itu.
Awal Mula Kasus Dugaan Makar
Kasus dugaan makar yang melibatkan kelompok Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) menjadi sorotan publik setelah sejumlah anggotanya melakukan aksi yang dianggap mengancam kedaulatan negara.
Pada 14 April 2025, sekelompok orang yang mengaku sebagai petinggi NFRPB mendatangi berbagai kantor pemerintahan dan kepolisian di Kota Sorong, Papua Barat Daya.
Mereka membawa surat dari presiden NFRPB yang berisi ajakan untuk perundingan damai dan pembentukan negara federal melalui mekanisme 'three parties RTC'.
Dalam video yang beredar, mereka mengenakan seragam loreng dan baret, serta menyerukan 'Papua Merdeka'.
Polisi kemudian menetapkan empat orang tersangka, yakni:
- Abraham G Gamam (AGG): Menteri Dalam Negeri & Staf Khusus Presiden NFRPB
- Piter Robaha (PR): Kepala Tentara NFRPB
- Maksi Sangkek (MS): Wakapolda NFRPB
- Nikson Mai (NM): Anggota Tentara NFRPB
Polisi menyita 35 dokumen, atribut organisasi, dan pakaian dinas yang menyerupai militer dan kepolisian.
Mereka dijerat dengan pasal-pasal berat, termasuk:
- Pasal 106 KUHP tentang makar
- Pasal 87 KUHP dan Pasal 53 Ayat 1 KUHP
- UU ITE Nomor 1 Tahun 2024 terkait penyebaran informasi yang berpotensi memecah belah
Keempat tersangka terancam hukuman 20 tahun penjara hingga seumur hidup.
Kasusini telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Sorong dan dijadwalkan disidangkan di Makassar, Sulawesi Selatan.
Kapolda Papua Barat Daya menegaskan bahwa tindakan membawa surat dan menyuarakan pembentukan negara baru merupakan tindak pidana makar, karena Papua secara hukum adalah bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tentang NFRPB
Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) adalah sebuah kelompok yang mengklaim diri sebagai entitas politik terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mereka menyuarakan aspirasi kemerdekaan Papua dan berupaya membentuk struktur pemerintahan sendiri, termasuk memiliki presiden, menteri, dan aparat keamanan versi mereka sendiri.
Tujuan utama NFRPB adalah untuk mendorong kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia melalui pendekatan politik dan diplomasi.
Dalam struktur organisasi, mereka memiliki jabatan seperti Presiden, Menteri Dalam Negeri, Kepala Tentara, dan Wakapolda, yang meniru sistem pemerintahan resmi.
Aktivitas kelompok ini menyebarkan surat politik, melakukan aksi simbolik seperti mengenakan seragam loreng, dan menggelar pertemuan atau demonstrasi.
Pemerintah Indonesia menganggap NFRPB sebagai kelompok separatis.
Aktivitas mereka dianggap bertentangan dengan konstitusi dan dapat dikenai pasal makar.
Aparat keamanan dan pemerintah daerah, seperti Gubernur Papua Barat Daya, menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi gerakan separatis di wilayah tersebut.
Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) telah mengimbau masyarakat agar tidak terprovokasi oleh klaim sepihak NFRPB.
Mereka menekankan pentingnya menjaga stabilitas dan kedamaian di Papua Barat serta menyelesaikan perbedaan pandangan melalui jalur demokratis.
Penulis: (Tribunnews.com/Wik) (Tribunsorong.com/Safwan Ashari)
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunsorong.com dengan judul BREAKING NEWS: Aksi Protes Tahanan NFRPB, Massa Blokade Jalan Utama di Sorong
Sumber: Tribun Papua
Sosok Karisto Gideon, Viral Paskibra Hampir Pingsan saat Upacara di Sorong, Menteri Beri Beasiswa |
![]() |
---|
Tersentuh Aksi Heroik Paskibraka Papua Barat Daya, Menkum Beri Motor & Beasiswa Sekolah Kedinasan |
![]() |
---|
Sosok Paskibraka Karisto Nyaris Ambruk saat Upacara HUT RI & 2 Rekan yang Sigap Menggandeng |
![]() |
---|
10 Provinsi yang Warganya Sudah Jarang Dengarkan Siaran Radio |
![]() |
---|
Terbaru di Sorong, Ini 6 Kasus Temuan Belatung dan Ulat saat Program MBG |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.