Jumat, 10 Oktober 2025

Mengenal Megamendung, dari Area Konflik Lahan Berubah Jadi Destinasi Ekowisata Bogor

Dari konflik agraria menuju harmoni alam, Megamendung kini bangkit sebagai destinasi ekowisata berbasis masyarakat.

Editor: Glery Lazuardi
(TribunnewsBogor.com/Naufal Fauzy)
KAWASAN MEGAMENDUNG BOGOR- Warga Desa Sukagalih, Megamendung, Kabupaten Bogor, menatap hamparan hijau hasil reboisasi lahan eks sengketa yang kini berubah menjadi kawasan ekowisata. Transformasi ini membuka lapangan kerja dan menumbuhkan harapan baru bagi warga lereng Gunung Gede Pangrango. 

TRIBUNNEWS.COM - Dulu dikenal sebagai wilayah penuh sengketa lahan dan konflik agraria, kini Megamendung menjelma menjadi salah satu destinasi ekowisata unggulan.

Megamendung adalah sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Indonesia. 

Wilayah ini dikenal dengan udara sejuk khas pegunungan karena berada di lereng Gunung Gede Pangrango, serta memiliki panorama alam yang indah dan asri. 

Megamendung juga menjadi jalur utama menuju kawasan wisata Puncak, sehingga sering dilalui wisatawan yang berlibur ke daerah pegunungan Bogor.

Selain potensi wisata alam, Megamendung memiliki sejarah panjang terkait konflik agraria dan penguasaan lahan. 

Namun dalam beberapa tahun terakhir, kawasan ini mulai bertransformasi menjadi destinasi ekowisata berbasis masyarakat, di mana warga lokal turut aktif menjaga kelestarian lingkungan sambil mengembangkan potensi wisata berkelanjutan.

Hal itu diungkap Camat Megamendung Ridwan.

“Destinasi wisata di Kecamatan Megamendung bukan dibuat, tetapi terbentuk secara alami sejak dahulu. Baru belakangan ini semakin ramai karena adanya langkah pemerintah dan masuknya investor,” ujarnya kepada wartawan pada pekan lalu.

Ridwan, yang merupakan putra daerah, masih mengingat jelas situasi pasca-Reformasi 1998 ketika terjadi penyerobotan lahan negara oleh berbagai pihak.

“Dampaknya ada dua. Pertama, penggundulan kebun teh dan hutan yang dikuasai PTPN. Kedua, muncul sengketa lahan, padahal tanah itu milik negara. Dua persoalan ini berlangsung cukup lama,” kenangnya.

Kondisi itu sempat membuat pemerintah daerah kewalahan. Lahan negara rusak, konflik agraria tak kunjung selesai, sementara ekonomi warga stagnan. Namun, dua dekade kemudian wajah Megamendung mulai berubah.

“Sejak saya menjabat camat pada 2023, tidak ada lagi laporan persengketaan tanah. Ini dampak positif dari masuknya investasi,” kata Ridwan.

Beberapa investor besar mulai hadir, seperti Eiger Adventure Land (EAL) dan Gym Station Indonesia (GSI).

Menurutnya, kehadiran investor membawa empat manfaat utama, yakni; Tanah negara yang sempat diserobot kembali ke negara, Kawasan gundul direboisasi, Investor berkontribusi kepada negara, dan Warga memperoleh lapangan pekerjaan.

“Yang paling penting, mereka peduli terhadap lingkungan. Contohnya, Sungai Cisuka di wilayah ini tidak pernah banjir meski ada pembangunan,” ungkapnya.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved