Kasus Suap Ekspor CPO
Ketua Komisi Kejaksaan Sebut Presiden Prabowo Tak Main-main Berantas Korupsi
Prof. Puji menekankan bahwa di sektor perkebunan sawit, penindakan tidak hanya terfokus pada manipulasi ekspor.
Ringkasan Berita:
- Aksi Kejagung menyerahkan uang Rp13,2 triliun hasil korupsi kasus ekspor CPO kepada Pemerintah disebut sebagai langkah positif
- Ketua Komisi Kejaksaan RI Prof Pujiyono Suwadi melihat aksi tersebut sebagai simbol penegakan hukum
- Ia juga menyatakan, Presiden Prabowo Subianto serius dalam upaya memberantas korupsi
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Prabowo Subianto disebut serius dalam upaya memberantas maraknya praktik korupsi di Indonesia.
Hal ini terbukti melalui aksi konkret dari pihak penegak hukum Kejaksaan Agung (Kejagung), yang menyerahkan dana hasil sitaan mencapai Rp 13,2 triliun terkait kasus suap ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Kejagung resmi menyerahkan uang senilai Rp 13.255.244.538.149,00 (Rp 13,2 triliun) yang diperoleh dari hasil penyitaan kasus korupsi ekspor CPO kepada pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Senin (20/10/2025).
"Ini menunjukkan bahwa Pak Prabowo benar-benar tidak main-main soal pemberantasan korupsi. Sebab, korupsi adalah kejahatan finansial," kata Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Prof. Pujiyono Suwadi, dalam sebuah diskusi pada Jumat (24/10/2025).
Diskusi bertajuk 'Korupsi Lagi...Korupsi Lagi! Bagaimana Mengatasinya?' yang diselenggarakan oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Semarang bersama Solusi Indonesia di Semarang.
Guru Besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu menambahkan, pencapaian pemulihan kerugian negara senilai Rp 13,2 triliun adalah prestasi luar biasa.
Apalagi, Prabowo secara terbuka dalam pidatonya menyebutkan dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk kepentingan jutaan warga Indonesia.
"Kemarin, jarang sekali seorang presiden berkunjung ke Kejaksaan. Saat berada di sana, beliau menerima penyerahan uang sitaan yang jumlahnya sangat besar. Itu berasal dari rampasan kasus korupsi CPO atau minyak goreng senilai Rp 17 triliun," jelasnya.
"Dari total Rp 17 triliun tersebut, Kejaksaan berhasil merampas Rp 13,25 triliun. Pak Presiden bahkan menyebut dana itu bisa digunakan untuk membangun sekolah bagi rakyat, mengembangkan desa nelayan, termasuk fasilitas penyimpanan ikan. Ini adalah angka yang sangat mengagumkan," tambahnya.
Di hadapan ratusan mahasiswa, pelajar SMA, kelompok mahasiswa seperti HMI, hingga para kepala desa, Prof. Puji menekankan bahwa di sektor perkebunan sawit, penindakan tidak hanya terfokus pada manipulasi ekspor.
Lebih dari itu, ada kolusi jahat dalam pembukaan lahan sawit baru, seperti yang sering ditemukan di wilayah Kalimantan, Sulawesi, maupun Papua.
Baca juga: Marcella Santoso Cs Didakwa Suap Hakim Rp40 Miliar di Kasus Korupsi CPO
Selain itu, perwakilan perusahaan sawit yang dikelola secara lokal hanya mendapat porsi kecil, sementara keuntungan besar dan pajaknya justru dialirkan ke luar negeri, seperti ke Singapura dan Malaysia.
"Lihat saja, hutan dirusak untuk ditanami sawit, diolah menjadi minyak, tapi hasilnya tidak kembali ke masyarakat Indonesia melainkan dibawa kabur ke luar. Bagaimana korupsinya? Dari perizinan. Misalnya, izin resmi hanya 100 hektare, tapi mereka kelola 1.000 hektare, dengan 900 hektare sisanya ilegal. Itulah sebabnya Kejaksaan kini mengejarnya dan telah berhasil mengembalikan 4 juta hektare lahan akibat penguasaan ilegal," ungkapnya.
"Kasus korupsi berskala besar ini muncul karena pejabat berkolusi dengan pengusaha. Tren oligarki sedang marak. Mirip dengan kasus korupsi timah di Bangka Belitung yang merugikan negara Rp 300 triliun. Mereka—para oligarki—mengambil sumber daya alam dengan keserakahan ekstrem," paparnya.
Ia berpesan agar masyarakat tidak larut dalam kegembiraan sementara atas penangkapan koruptor, yang sering digantikan oleh pelaku baru.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.