Kamis, 20 November 2025

Gerak Kecil Aloe Liquid dari Gunungkidul Mengubah Banyak Hal: Kesehatan, Pendidikan, Keuangan

Alan Efendhi dengan olahan lidah buayanya menghasilkan minuman kesehatan, berdampak juga untuk masyarakat luas dari pendidikan dan keuangan

HO/Tribunnews
PANEN LIDAH BUAYA - Petani lidah buaya dan Alan Efendhi (kanan). Dengan olahan lidah budaya menjadi minuman Aloe Liquid, Alan Efendhi menjadi agen bergerak dan berdampak untuk masyarakat luas. 

TRIBUNNEWS.COM - Di sebuah pagi yang lengang di Dusun Jeruklegi, Desa Katongan, Gunungkidul, DIY, Alan Efendhi berdiri di teras depan rumah.

Berjarak selemparan batu, terlihat embun masih melekat pada permukaan daun lidah buaya yang berbaris di pekarangannya.

Sesekali, ia meraba ujung daun, seperti memastikan bahwa tanaman-tanaman itu tumbuh dengan baik.

“Tanaman ini dulu hanya pengisi halaman. Tapi saya percaya, kalau dirawat, dia bisa membawa perubahan,” ucapnya Sabtu (15/11/2025), mengenang awal perjuangan merintis usaha.

Perubahan itu kini bukan sekadar mimpi.

Ia menjelma menjadi Aloe Liquid, minuman sehat berbahan lidah buaya yang dipermanis menggunakan stevia, tanpa gula tambahan.

Hal ini merupakan sebuah inovasi yang lahir dari tangan seorang anak desa yang pulang kampung dan memilih memulai semuanya dari nol.

Bertahun-tahun merantau di Jakarta setelah lulus SMA membuat Alan rindu akan kampung halaman. Kerinduannya pada orang tua, tanah kelahiran, dan suasana sederhana desa membuatnya mengambil keputusan besar, yakni pulang.

Namun pulang saja tidak cukup. Ada kegelisahan yang mengikutinya.

Misalnya timbul pertanyaan ‘Apa yang bisa ia lakukan untuk tetap tinggal? Bagaimana caranya hidup dan bermanfaat di tanah kelahirannya sendiri?’

Gunungkidul bukan wilayah subur. Tanah karst yang kering seringkali membuat warga bergantung pada tanaman tahan cuaca ekstrem. Dari situlah mata Alan tertuju pada lidah buaya.

Baca juga: Lidah Buaya Disebut Bisa Hilangkan Gatal, Dokter Ingatkan Baik Buruknya

Ia mulai menanam 500 bibit jenis sinensis barker, varietas yang cocok untuk olahan minuman. Banyak orang meragukan pilihannya.

“Lidah buaya itu mau dijual ke mana?” begitu komentar yang ia dengar.

Namun Alan percaya, tanaman yang tahan panas dan mudah dirawat ini punya prospek.

“Saya memulai bukan karena sudah tahu hasil akhirnya. Saya mulai karena saya yakin bisa belajar,” ujarnya.

Ujian, Rasa Pahit, Ketekunan

Sejak 2018, Alan telah menggeluti budidaya lidah buaya.

Ia kerap menghadapi masalah klasik, yakni fluktuasi harga dan kelebihan produksi yang berujung pada pembusukan.

Hasil bumi yang melimpah itu seolah tak bernilai jika tidak segera terjual.

Situasi ini memantik sebuah pertanyaan mendasar dalam benaknya ‘Bagaimana jika hasil panen ini kita olah, sehingga memiliki nilai tambah dan daya tahan yang lebih tinggi?’.

Tanaman lidah buaya yang pelepahnya bakal diolah oleh UD. Mount Vera Sejati Gunungkidul
Tanaman lidah buaya yang pelepahnya bakal diolah oleh UD. Mount Vera Sejati Gunungkidul (Instagram @efendhi_alan.rv)

Kegelisahan itulah yang kemudian menjadi batu pijakan sebuah terobosan.

Alan menyadari bahwa untuk bertahan, ia harus bergerak melampaui pola pikir petani konvensional.

Ia mulai bereksperimen di dapur sederhananya, mencoba mengolah gel lidah buaya menjadi berbagai produk.

Namun, inovasinya tidak berhenti di situ. Tantangan baru muncul.

Gel lidah buaya alami memiliki rasa yang cenderung tawar dan mengandung aloin, senyawa yang memberikan rasa pahit.

Malam berganti malam ia habiskan di dapur rumah, mencoba berbagai metode perendaman untuk menghilangkan lendir dan rasa pahit.

Di sinilah kreativitas Alan diuji. Alih-alih menggunakan gula biasa yang tinggi kalori, ia memilih stevia sebagai pemanis alami.

"Stevia adalah titik balik," ujar Alan.

"Kami ingin menawarkan minuman yang tidak hanya menyegarkan, tetapi juga benar-benar sehat. Stevia, yang berasal dari tanaman, memiliki nol kalori dan tidak meningkatkan gula darah. Ini menjawab kebutuhan konsumen modern yang peduli kesehatan, terutama penderita diabetes atau mereka yang sedang diet,” tegasnya dengan penuh keyakinan.

Percobaannya kemudian beralih ke pencarian rasa manis yang sehat.

Ia ingin minuman itu ramah untuk semua kalangan, termasuk penderita diabetes.

Data International Diabetes Federation (IDF) per 2024 menunjukkan Indonesia punya 20,4 juta penderita diabetes dewasa, 11,3 persen dari populasi dewasa, dan proyeksi melonjak menjadi 28,6 juta pada 2050, menjadikan negeri ini peringkat 5 dunia.

Di DIY, survei Kementerian Kesehatan Juni 2025 mengungkap 5,9 persen peserta cek kesehatan gratis menderita diabetes, sering dipicu pola makan tinggi gula dan kurang olahraga di daerah pedesaan.

Keputusan untuk menggunakan stevia bukan tanpa alasan. Ia melakukan riset kecil-kecilan, mencoba berbagai takaran hingga mendapatkan kombinasi yang pas.

Hasilnya adalah minuman Aloe Liquid dengan rasa yang segar, sedikit manis alami dari stevia, dengan potongan daging lidah buaya yang kenyal.

Inovasi ini menjadi pembeda utama produknya di tengah maraknya minuman kekinian yang sarat gula.

Adapun stevia menawarkan kemanisan alami tanpa kalori, dan cocok dikombinasikan dengan aloe yang lembut.

Tapi mengolahnya tidak mudah. Jika salah takaran, stevia justru meninggalkan rasa pahit.

“Bisa dibilang saya meneliti tanpa laboratorium. Alat saya cuma ember, kompor, dan lidah,” kata dia kemudian tersenyum.

Setelah puluhan percobaan, rasa terbaik akhirnya muncul.

Ia mendapatkan rasa manis halus, ringan, dan tetap menyisakan karakter aloe vera.

Lahirlah formula awal Aloe Liquid, minuman sehat yang kini dikenal luas.

Tahun 2021 menjadi titik balik terberat. Setelah memproduksi 1.000 botol perdana, Alan mendapati 70 persen produknya terkontaminasi dalam dua minggu.

"Saya duduk termangu memandang tumpukan botol yang harus dibuang. Uang terakhir habis untuk produksi itu,” ceritanya sedih

Air mata dan keputusasaan kala itu sempat menghampiri, sampai seorang petani tua berkata, ‘Kalau mau jadi pemimpin, harus kuat melewati badai.’ Kata-kata itu menyadarkannya untuk bangkit.

Dengan tekad baru, Alan mempelajari teknik pasteurisasi yang tepat.

Ia menghubungi dinas pertanian, berkonsultasi dengan ahli teknologi pangan, bahkan belajar secara online dari petani lidah buaya di Thailand.

"Saya tidur di laboratorium kecil saya selama berminggu-minggu, mencoba setiap formula pengawetan alami,” ungkap dia.

Keberhasilan akhirnya datang. Aloe Liquid versi baru mampu bertahan hingga 6 bulan tanpa bahan pengawet berbahaya.

Inovasi stevia-nya justru menjadi keunggulan kompetitif ketika minuman kekinian berbasis gula mulai ditinggalkan konsumen.

"Kami mulai dari nol lagi tahun 2022. Kali ini lebih hati-hati, lebih banyak riset," ujarnya.

Strategi pemasaran pun dimulai dari cara paling sederhana, bagi-bagi sampel ke tetangga, teman, dan keluarga.

Satu per satu pesanan mulai berdatangan.

Dari hanya 50 botol per minggu, kini Aloe Liquid mampu memproduksi 3.000-5.000 botol per bulan.

Yang membanggakan, Alan mampu menyerap tenaga kerja puluhan pemuda lokal dan bekerja sama dengan ratusan petani lidah buaya.

Bergerak dan Berdampak

Inovasi Alan bukan hanya tentang produk.

Ia ingin geraknya berdampak pada warga di sekitarnya.

lihat fotoHilirisasi Lidah Buaya di UD. Mount Vera Sejati
Hilirisasi Lidah Buaya di UD. Mount Vera Sejati

Ia mulai mengajak tetangga menanam lidah buaya di pekarangan masing-masing.

Lalu ia membentuk kelompok tani dan membina ibu-ibu desa melalui Kelompok Wanita Tani (KWT) Mount Vera Sejati.

Jumlah petani mitranya yang semula hanya beberapa orang kini telah mencapai lebih dari seratus dari berbagai dusun di Gunungkidul.

Para perempuan, yang sebelumnya hanya mengurus rumah, kini ikut menanam, merawat, hingga ikut proses pascapanen aloe.

Satu di antaranya adalah Marni, sehari-hari bekerja membantu produksi olahan produk lidah buaya

Ia bersama ratusan ibu-ibu antar dusun di Desa Katongan meraup untung sebagai petani mitra untuk merawat dan mengolah produk bernama ilmiah Aloe Vera ini.

Dari hasil menyetor pelepah lidah buaya pagi itu, Marni sudah mengantongi Rp 60 ribu. Per kilogramnya dihargai Rp 3.000 oleh usaha dagang milik Alan.

Ibu satu anak ini juga mendapat upah bekerja di UD. Mount Vera Sejati sebagai pengupas daun lidah buaya, per hari ia mendapat Rp 60-80 ribu tergantung jumlah pelepahnya.

Belum ditambah penghasilan ketika rombongan wisatawan melakukan kunjungan wisata edukasi, ia dapat tambahan upah Rp 100 ribu per hari.

Hasil-hasil yang ia dapatkan tersebut bisa dibilang lebih dari keuntungan semata lantaran sebelumnya Marni terseok-seok menjalani hidup.

Bahkan nasib serupa juga dirasakan oleh para ibu-ibu di dusunnya yang hanya mengandalkan suami pekerja bangunan dan buruh tani.

Penghasilannya mereka awalnya tak menentu, selalu kesulitan ekonomi saat musim kemarau karena tanah di desanya adalah tanah tadah hujan, sulit untuk bercocok tanam.

Saat tak ada pendapatan, warga bertahan hidup makan hasil kebun seperti singkong untuk dijadikan nasi dan daun pepaya sebagai sayurnya.

Beberapa juga terlilit piutang dengan rentenir karena terjebak dalam situasi gali lubang tutup lubang.

Marni menjadi salah satu dari sekian para perempuan kuat Dusun Jeruklegi untuk menopang perekonomian keluarga.

Kebutuhan makan, kebutuhan sekolah, hingga untuk uang saku anak pada akhirnya bisa ia penuhi semenjak bekerja dengan UD. Mount Vera Sejati.

“Seneng sekali Alhamdulilah sekarang semua kebutuhan terpenuhi tanpa mengandalkan suami, dulu kalau kemarau ga ada penghasilan, kadang nengok orang sakit ambil utang juga,” ucapnya.

Manfaat olahan lidah buaya UD. Mount Vera Sejati juga dirasakan oleh Umar Abdul Azis.

Azis merupakan karyawan Alan yang bertanggung jawab perihal pengemasan produk lidah buaya.

Seperti Marni, UD. Mount Vera Sejati mengubah hidupnya sejak SMA.

Mahasiswa semester akhir Manajemen Pemasaran Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini mengaku terbantu ekonominya.

“Sangat bersyukur sekali, kebutuhan saya terbantu sejak SMA hingga bisa kuliah tanpa merepotkan orangtua satu rupiah pun. Sebagai petani mitra dan karyawan Mount Vera Sejati saya bersyukur,” ungkapnya.

Pria kelahiran 2003 ini juga merupakan anggota karang taruna dusun setempat.

Karang taruna ternyata dilibatkan UD. Mount Vera Sejati sebagai pendukung wisata edukasi lidah buaya bernama Aloe Land.

Setiap ada kunjungan, biasanya sebulan dua kali, karang taruna diminta untuk menjadi petugas.

Karena medan menuju Aloe Land terbilang sulit ditempuh, karang taruna kampung bertanggung jawab dari proses perparkiran bus hingga menggiring rombongan ke tempat wisata edukasi.

Tak hanya itu, karang taruna juga bertugas menyediakan kursi untuk wisatawan yang hendak melakukan kunjungan wisata.

“Jadi karang taruna dapat penghasilan dari kursi-kursinya disewa Mas Alan itu dana masuk kas. Per orangnya yang terlibat juga mendapat upah dari sekitar 1-2 jam bekerja Rp 100 ribu,” ucapnya kemudian tersenyum.

Raih Apresiasi

Dari sinilah terasa gaung “Satukan Gerak, Terus Berdampak” benar-benar hidup.

Gerak Alan menjadi gerak bersama. Gerak kecil yang awalnya terjadi di halaman rumah, merambat pelan menjadi gerakan ekonomi, sosial, dan edukasi.

lihat fotoAlan Efendhi memperoleh penghargaan Satu Indonesia Awards 2023
Alan Efendhi memperoleh penghargaan Satu Indonesia Awards 2023

Atas usahanya itu, Alan diganjar penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2023 kategori kewirausahaan dari PT Astra International Tbk.

Sebelum itu, Alan pada 2019 mendapatkan penghargaan dari Krenovamaskat, Finalis Zona Kategori Boga Wirausaha Muda Mandiri pada 2020, Wakil Provinsi Kategori Kewirausahaan Astra Satu Indonesia Awards 2021, Penghargaan Pemuda Berprestasi Kabupaten Gunungkidul 2022,  Young Ambassador Program Yess Kementerian Pertanian 2023, Juara Harapan 1 Talenta Wirausaha BSI Kategori Berdaya 2023, dan  Penghargaan UMKM Milenial Inspiratif 2024 RB PLN.

Alan mengaku bersyukur atas raihan yang telah ia capai selama ini selain untuk berwirausaha juga berkontribusi bagi desa dan masyarakat luas.

 “Kalau ada yang berubah dari usaha ini, saya ingin yang berubah bukan saya saja. Tapi desa saya juga ikut tumbuh,” ucapnya.

Kolaborasi dan Keberlanjutan

Perjalanan Alan tak berhenti sampai ke hilirisasi olahan lidah buaya.

Alan memegang teguh prinsip keberlanjutan dan berkembang lebih luas.

Pria kelahiran Gunungkidul tahun 1988 ini memiliki proyeksi dalam kurun waktu satu hingga dua tahun ke depan memiliki pabrik dengan standar tinggi.

Karyawan UD. Mount Vera Sejati sebelum pengolahan lidah buaya
Karyawan UD. Mount Vera Sejati sebelum pengolahan lidah buaya (Instagram @efendhi_alan.rv)

Kemudian Alan ingin menambah mesin-mesin produksi dengan tujuan meningkatkan kapasitas, hal itu otomatis beriringan dengan meningkatnya kebutuhan bahan baku.

Harga untuk mengganti setoran petani juga bakal terus meningkat karena permintaan semakin banyak.

“Otomatis bahan baku pelepah daun lidah buaya dari masyarakat juga semakin dibutuhkan, semakin banyak yang diserap, harga juga bakal terus naik menguntungkan masyarakat juga kan,” katanya.

Selain standar BPOM, produk usaha Alan ditargetkan memiliki izin-izin standar untuk bisa merambah ke luar negeri.

Langkah tersebut sudah dimulai dengan rutin mengikuti kegiatan ekspo seperti pameran kelas internasional G20 dan Trade Expo Indonesia 2023-2024.

Alan mengakui produknya sudah dilirik oleh pasar internasional, di antaranya dari Mesir, Malaysia, hingga Singapura.

Hanya saja saat ini ia belum bisa menuruti permintaan karena terkendala perizinan ekspor.

“Ke depan orientasinya (jualan) ke luar negeri. Kita urus dulu izin-izin ekspor,” katanya.

Bicara proyeksi yang terakhir, Alan ingin produk lidah buaya menjadi produk unggulan Gunungkidul termasuk berkolaborasi dengan pemerintah daerah setempat.

Seperti halnya jika kita mengenal carica sebagai produk unggulan wisata Dieng, Jawa Tengah, Alan berharap bisa menunjang pariwisata Gunungkidul lewat produk lidah buaya berikut wisata edukasinya.

Terlepas dari hal itu, Alan ke depan melalui usaha ini tetap ingin bermanfaat bagi banyak orang.

Yakni dengan meluaskan manfaat tak hanya kepada petani desa, tapi petani di Gunungkidul yang mungkin mengalami nasib serupa seperti masa lalu Desa Katongan.

Demikian disebutnya sebagai penyerapan tenaga kerja dengan membuka seluasnya lapangan kerja bagi masyarakat.

(*)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved