Aplikasi Digital AKSI untuk Penagihan Royalti Musik Rampung, Badai Yakinkan soal Transparansi
Aplikasi tersebut memungkinkan penagihan dan pembayaran royalti dilakukan secara langsung dari pengguna musik kepada pencipta lagu.
Penulis:
Fauzi Nur Alamsyah
Editor:
Willem Jonata
TRIBUNNEW.COM, JAKARTA – Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) menyiapkan solusi berbasis teknologi untuk sIstem royalti melalui aplikasi Digital Direct Licensing (DDL).
Hal ini dikatakan oleh musisi Doadibadai Hollo atau Badai, selaku Sekretaris Jendral AKSI.
Aplikasi tersebut memungkinkan penagihan dan pembayaran royalti dilakukan secara langsung dari pengguna musik kepada pencipta lagu.
Sejauh ini aplikasi tersebut sudah siap digunakan sejak tahun lalu, namun demikian masih menunggu revisi di tingkat Peraturan Pemerintah (PP) serta persetujuan dari Otoritas Jasa Keungan (OJK) serta system perizinan satu pintu (One Single Submission).
Baca juga: Badai Soroti Keluhan Ari Lasso Soal Royalti di Medsos: Kalau Nggak Viral, Nggak Dilirik
“Kalau dari AKSI, kami sudah siap sebenarnya dengan aplikasinya. Kita sudah siap dengan Digital Direct Licensing,” ujar Badai di Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (20/8/2025).
Sistem DDL nantinya akan sejalan dengan Pasal 81 Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 dengan memberikan hak kepada pencipta untuk melakukan penagihan dan perjanjian lisensi secara mandiri.
Menurut Badai, keberadaan aplikasi ini diharapkan memberikan transparansi, kepastian, dan kecepatan dalam pembayaran royalti, sekaligus memangkas birokrasi yang selama ini menjadi keluhan para pencipta lagu di Indonesia.
“Kalau AKSI, hanya meng-collect member-nya saja. Jadi siapa yang bergabung di AKSI, dia mempercayakan itu, pengelolaan kita, ya kita koleksi. Di luar itu kita enggak collect,” tegasnya.
Yang dilakukan AKSI tak lepas dari polemik royalti musik di Indonesia. Ada beberapa poin berkait royalti musik di Indonesia yang jadi perdebatan:
1. Transparansi Penarikan dan Distribusi Royalti
Sistem penarikan dan distribusi royalti di Indonesia dianggap belum transparan dan efisien. Banyak musisi dan pencipta lagu merasa bahwa jumlah royalti yang mereka terima tidak sesuai dengan frekuensi lagu mereka diputar.
Lembaga Manajemen Kolektif (LMK): Peran LMK, yang seharusnya menjadi jembatan antara pencipta lagu dan pengguna karya, sering kali dipertanyakan.
Ada dugaan bahwa pengelolaan dana royalti tidak akuntabel dan distribusinya tidak merata, sehingga hanya segelintir musisi besar yang mendapatkan bagian signifikan.
Kemudian kurangnya sistem pendataan yang akurat dan terintegrasi membuat sulit untuk melacak penggunaan lagu secara real-time, baik di platform digital maupun tempat-tempat komersial seperti kafe, restoran, dan hotel. Hal ini menyulitkan penghitungan royalti yang adil.
2. Ketidakjelasan Tarif
Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI)
royalti
Aplikasi Digital Direct Licensing
Doadibadai Hollo
Badai
Ari Lasso Berhenti Bicara Masalahnya dengan WAMI di Instagram, Kawal Pemerintah Selesaikan Royalti |
![]() |
---|
Marcell Siahaan Tanggapi Kritik Publik soal Transparansi LMKN Urus Royalti Musik |
![]() |
---|
DPR: Musisi dan LMKN Sepakat Akhiri Polemik Royalti, Komitmen Jaga Suasana Kondusif |
![]() |
---|
Ari Lasso Dukung Langkah Menteri Hukum soal Rencana Audit WAMI: Lega |
![]() |
---|
DPR Akan Panggil Menkum hingga LMKN Hari Ini untuk Bahas Polemik Royalti Musik |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.