Rabu, 20 Agustus 2025

Royalti Musik

Polemik Royalti Musik, Praktisi Hukum Deolipa Yumara Desak Audit LMKN Demi Transparansi

Praktisi hukum sekaligus musisi, Deolipa Yumara, mendesak agar Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) diaudit secara menyeluruh.

Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Ilham Rian Pratama
ROYALTI MUSIK - Praktisi hukum sekaligus musisi, Deolipa Yumara di wilayah Jakarta Selatan, Senin (13/11/2023). Ia mendesak agar Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) diaudit secara menyeluruh. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktisi hukum sekaligus musisi, Deolipa Yumara, mendesak agar Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) diaudit secara menyeluruh.

LMKN adalah lembaga pemerintah non-APBN yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta untuk mengelola royalti lagu dan musik di Indonesia. Kewenangannya menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari pengguna komersial lagu dan musik, serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait.

Desakan muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap dugaan kurangnya transparansi dalam pengelolaan dan distribusi royalti musik di Indonesia.

Sebagai lembaga non-struktural di bawah Kementerian Hukum dan HAM, LMKN memiliki kewenangan mengelola royalti musik atas nama negara, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 

Namun, menurut Deolipa, distribusi royalti yang dilakukan LMKN tidak berjalan secara terbuka dan akuntabel.

Baca juga: Once Mekel Apresiasi Aturan Baru Royalti Musik, Bisa Dorong Optimalisasi Peran LMK dan LMKN

“Mereka ini non-struktural, tapi diberi wewenang institusional untuk mengelola royalti musik. Mereka adalah wakil dari negara karena diatur oleh undang-undang,” ujar Deolipa dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Selasa (19/8/2025).

Deolipa mengungkap, banyak pencipta lagu hanya menerima royalti dalam jumlah sangat kecil, bahkan tidak sebanding dengan besar penarikan royalti dari pelaku usaha di sektor hiburan. 

Beberapa pencipta lagu, katanya, hanya menerima Rp 200 ribu hingga Rp 700 ribu per tahun.

Baca juga: Soal Kisruh Royalti Musik, Istana Dorong Dialog Win-Win untuk Seniman dan Pelaku Usaha

“Ada keluhan dari pencipta lagu yang cuma dapat royalti kecil, padahal LMKN menagih ke hampir semua usaha hiburan,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti satu kasus penarikan royalti yang dianggap tidak wajar, yaitu tagihan kepada jaringan restoran Mie Gacoan yang diklaim mencapai Rp 2,4 miliar dalam setahun.

“Pertanyaannya, uangnya ke mana? Publik berhak tahu. Itu sebabnya saya minta LMKN diaudit. Bahkan Ari Lasso pun meminta hal serupa,” tegas Deolipa.

Deolipa juga menilai lemahnya regulasi dan pengawasan terhadap LMKN menimbulkan potensi penyimpangan.

Menurutnya, sistem penagihan yang tidak merata berpotensi menimbulkan kecurigaan publik.

“Regulasinya lemah, pengawasannya juga seperti kongkalikong. Kalau semua target penagihan berjalan baik, pasti ada dana besar yang kemudian tidak jelas ke mana,” katanya.

Ia bahkan menganalogikan LMKN sebagai “tukang tagih” yang menggunakan pendekatan represif terhadap pelaku usaha.

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan