Royalti Musik
Keras ke WAMI dan LMK, Tompi Tegaskan Kritiknya untuk Lembaga Bukan Personal
Tompi belakangan ini sangat keras bicara soal sistem royalti yang melibatkan Wahana Musik Indonedia (WAMI) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Penulis:
Bayu Indra Permana
Editor:
Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Bayu Indra Permana
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tompi belakangan ini sangat keras bicara soal sistem royalti yang melibatkan Wahana Musik Indonedia (WAMI) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Tompi adalah nama panggung dari dr. Teuku Adifitrian, Sp.BP-RE, sosok multitalenta di Indonesia yang mendalami musik cukup dalam.
Baca juga: Tak Puas Konsep Hitungan Royalti, Tompi Keluar dari WAMI & Gratiskan Lagu-lagunya di Konser dan Kafe
Ia adalah seorang penyanyi jazz, dokter bedah plastik, sutradara film, dan aktivis seni.
Pria kelahiran Lhokseumawe, Aceh 22 September 1978 ini dikenal luas karena gaya vokalnya yang soulful serta kemampuannya menyeimbangkan dunia seni dan profesi medis.
Tompi sangat keras mengkritik sistem penarikan dan pemberian royalti yang dinilai tidak transparan ke para musisi.
Baca juga: Royalti Lagu Jadi Polemik, Tompi Kritik Kinerja LMK yang Tidak Transparan: Enggak Jelas
Meski demikian, Tompi menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak punya masalah personal dengan teman-temannya sesama musisi di sana.
Tompi memastikan bahwa kritiknya ditujukan kepada lembaga seperti WAMI, dan sistem pemberian royalti yang harus diperbaiki.
WAMI aggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yaang bertugas sebagai pengelola royalti musik.
“Kita enggak peduli sama orangnya. Saya dan teman-teman lain enggak punya masalah personal. Tapi sistemnya enggak bener nih, ayo dong benerin," tegas Tompi di kawasan Thamrin Jakarta Pusat belum lama ini.
"Kalau orangnya tersinggung, ya itu masalah di orangnya. Kita enggak pernah ngatain orangnya, yang kita kritik sistemnya,” ujar Tompi.
Ia juga menyoroti ketidakjelasan dalam perhitungan royalti, bahkan Tompi menyinggung soal adanya negosiasi dalam penarikan royalti.
“Sering terjadi tiba-tiba keluar surat harus bayar Rp12 juta atau Rp20 juta, lalu dinego bisa turun jadi Rp8 juta. Atas dasar apa? Itu enggak ada yang bisa jelasin,” katanya.
Tompi pun mendukung langkah DPR yang disebutnya telah menginstruksikan audit terhadap LMK.
“Ya iyalah. Biar ketahuan kurang lebihnya di mana. Harapannya sistemnya beres, manusiawi, perhitungannya jelas," tegasnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.