Selasa, 28 Oktober 2025

Pernah Dihantui Perasaan Bersalah Saat Libur? Psikolog Beri Penjelasan

Libur sejatinya untuk istirahat. Namun, sebagian orang justru merasa bersalah ketika memiliki waktu luang atau tidak melakukan apa-apa. 

|
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Gemini AI/Tribunnews
ILUSTRASI LIBURAN - Gambar dibuat di Gemini AI, Rabu (17/9/2025). Prompt Gemini AI untuk edit foto seperti liburan di luar negeri seperti ke Jepang, Mesir, Hawaii, New York, Italia, dll. Pengguna cukup copas prompt. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Libur seharusnya menjadi waktu untuk istirahat dan memulihkan energi. 

Namun, sebagian orang justru merasa bersalah ketika memiliki waktu luang atau tidak melakukan apa-apa. 

Perasaan itu sering muncul diam-diam, saat rebahan terlalu lama, menolak undangan kerja tambahan, atau sekadar memutuskan untuk tidur siang.

Psikolog Irma Gustiana menyebut fenomena ini sebagai guilty feeling karena tidak produktif, sebuah pola pikir yang muncul akibat autopilot budaya “harus sibuk”.

“Karena sudah auto-pilot harus produktif, sehingga ketika kita tidak produktif itu kayak ada something yang beda dari sesuatu yang biasanya kita lakukan,” ujar Irma saat pada Tribunnews, Jumat (24/10/2025). 

Budaya Sibuk dan Lupa Beristirahat

Fenomena merasa bersalah ketika beristirahat ini tidak datang tiba-tiba. 

Banyak orang tumbuh dalam lingkungan yang menilai keberhasilan berdasarkan seberapa sibuk seseorang. 

Semakin padat jadwal, semakin produktif seseorang dianggap “berharga”.

Baca juga: Gagal Turunkan Berat Badan? Ini Penjelasan Psikolog Soal Pentingnya Atur Emosi Saat Diet

Irma menjelaskan, hal ini membuat banyak individu hidup dalam mode autopilot, bekerja, berlari, mengejar tenggat, tanpa menyadari kebutuhan dirinya sendiri. 

“Kita jadi seperti kehilangan sinyal dengan tubuh kita sendiri,” ujarnya.

Kondisi itu diperparah oleh media sosial yang menampilkan kesuksesan dan aktivitas orang lain sepanjang waktu. 

Ketika melihat orang lain terus bergerak, banyak yang merasa bersalah karena berdiam diri.

Padahal, kata Irma, otak dan tubuh tidak bisa terus dipaksa dalam kecepatan tinggi tanpa jeda. 

“Itu yang nanti bisa mengganggu fokus, kinerja, dan peran kita,” tegasnya.

Rasa Bersalah yang Merusak Fokus dan Kinerja

Perasaan bersalah karena beristirahat bisa memicu stres yang tidak disadari. 

Semakin sering seseorang merasa bersalah, semakin sulit ia benar-benar beristirahat. Akibatnya, performa kerja justru menurun.

Baca juga: Psikolog Soroti Psikis Raisa yang Gugat Cerai Hamish Daud, Singgung Konflik dan Tekanan

Irma mengingatkan bahwa perasaan bersalah itu perlu “di-counter” dengan pikiran yang lebih afirmatif. 

“Jadi di-counter kembali pikiran rasa bersalah itu dengan pikiran lain yang afirmatif tadi. Karena otak itu bekerja berdasarkan apa yang kita bilang sama dia. Kalau kita bilang, enggak apa-apa boleh kok, itu kan sesuatu yang oke kan,” jelasnya.

Ia menambahkan, tubuh dan pikiran kita akan mencari arah sesuai dengan apa yang sering kita ucapkan pada diri sendiri. 

“Sebenarnya enggak apa-apa, enggak harus sibuk banget. Nanti dia akan mencari cara untuk kita relax,” tambahnya.

Ketika Semua Hal Terasa Penting, Diri Sendiri Jadi Terlupakan

Rasa bersalah saat libur sering kali muncul karena kita merasa semua hal mendesak untuk diselesaikan. 

Namun menurut Irma, ketika semuanya dianggap prioritas, justru tidak ada yang benar-benar penting.

Irma menekankan pentingnya memberi ruang bagi diri sendiri untuk berhenti sejenak. 

Sama seperti kalimat dalam paragraf, hidup juga butuh “spasi”. 

Belajar Pelan, Berhenti, dan Mengobrol dengan Diri Sendiri

Irma menjelaskan bahwa melambat bukan berarti malas, melainkan cara untuk kembali selaras antara otak, tubuh, dan perasaan.

Ia menyarankan agar setiap orang membangun kebiasaan “ngobrol dengan diri sendiri” setiap hari.

“Ngaduk dengan memperlambat. Justru memperlambat harimu ya,” tuturnya.

Dalam pendekatan yang disebutnya sebagai somatik, Irma menjelaskan pentingnya menyadari sinyal tubuh, dari napas yang pendek, otot tegang, hingga mudah tersinggung. Semua itu tanda bahwa tubuh meminta jeda.

Menghentikan Kebiasaan Menghakimi Diri Sendiri

Salah satu penyebab utama munculnya rasa bersalah adalah kebiasaan self-judgement atau menghakimi diri sendiri. 

Hal ini disampaikan oleh Wellness practitioner Rahne Putri saat ditanyai oleh Tribunnews. 

Menurutnya banyak orang tanpa sadar memelihara narasi negatif seperti “aku malas”, “manajemen waktuku buruk”, atau “aku enggak berguna”.

Padahal, kata Rahne, itu adalah bentuk adiksi mental yang membuat energi seseorang terkuras. 

“Kita tuh punya adiksi sama judge diri sendiri. Kayak, emang gue ini emang manajemennya jelek deh. Narasinya buruk terus soal diri sendiri,” jelasnya.

Sebaliknya, Rahne mendorong agar setiap orang berlatih untuk memberi afirmasi positif dan menghargai proses dirinya. 

“Ngajak ngobrol itu adalah upaya kita untuk mengajak kembali kesadaran kita. Oh, kitanya berharga. Kita punya pekerjaan yang sangat luar biasa,” katanya.

Terakhir Rahne berpesan untuk memberi waktu bagi diri sendiri untuk beristirahat bukan bentuk kemalasan, melainkan tanda bahwa kita sedang menjaga kewarasan.

Rasa bersalah karena libur hanya akan hilang jika seseorang berani mengakui bahwa tubuh dan pikiran juga butuh ruang untuk diam.

 

(Tribunnews.com/ Aisyah Nursyamsi)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved