Tribunners / Citizen Journalism
Suka-Duka Relawan BPJS Kesehatan di Palu
Sebagian masyarakat maunya gratis saja sehingga ketika ditagih banyak yang cuma janji untuk bayar iuran BPJS Kesehatan
Editor:
Eko Sutriyanto
Ada anak bayi di rumahnya.
“Saat sampai, pintu kamar terkunci. Langsung saya dobrak,” katanya.
Umumnya pintu-pintu rumah sulit dibuka setelah gempa karena ada pergeseran.
Anaknya yang berumur 5 tahun dan 2 tahun yang sedang di kasur segera diraihnya.
“Alhamdulillah, begitu bayi saya angkat, lemari roboh di tempat bayi tadi,” katanya.
Program kader JKN-KIS diluncurkan pada 2017.
Para kader bertugas memberikan sosialisasi tentang JKN-KIS dan BPJS Kesehatan.
Selain itu juga menagih iuran peserta mandiri yang menunggak karena itu, banyak suka-duka yang ditemui mereka saat berada di lapangan, seperti yang dialami kader-kader di Palu.
Weni Watae, dari Besusu Timur, Palu, bercerita bahwa masyarakat maunya gratis saja sehingga ketika ditagih banyak yang cuma janji untuk bayar.
Sebagai kader, Rahmi begitu menghayati kesibukannya.
“Dari bangun tidur sampai malam,” kata kader yang pernah meraih tagihan tertinggi ini.
Namun sebagian peserta selalu “tiba masa, tiba akal” saat ditagih.
Padahal tak jarang malam-malam mereka minta tolong untuk dibantu pengurusan kartu atau dibantu ke rumah sakit. Deni Setiawan, kader yang lain bercerita, ada peserta yang tak mau ikut lagi.
“Alasannya tak pernah dipakai,” katanya.
Sedangkan Ramlah bercerita ada peserta yang tak mau bayar iuran lagi karena kecewa.
“Saya diusir. Saya sakit hati karena saat nagih pas bawa anak,” katanya.
Peserta tersebut berkisah bahwa saat berobat, dokternya mengatakan bahwa ada obat yang lebih paten tapi tak dijamin BPJS Kesehatan.
Sedangkan Ulfa menyatakan dirinya kebagian untuk menagih tunggakan di kawasan yang disebutnya sebagai kawasan orang-orang kaya.
“Pas masuk digonggong anjing,” katanya.
Kawasan itu paling banyak nilai tunggakannya, nilainya sekitar Rp 2 miliar.
Mereka mengeluh bahwa setiap berobat pihak rumah sakit selalu bilang bahwa tak ada kelas 1 adanya kelas 3.
Padahal mereka peserta mandiri yang terdaftar dengan fasilitas kelas 1 dengan nilai iuran tertinggi.
Ulfa pun menyebutkan dua rumah sakit swasta di Palu yang sering dikeluhkan begitu. Ternyata cerita Ulfa itu dibenarkan para kader lain. Mereka mendapat keluhan yang sama.
“Jadinya kita yang kena damprat dari peserta,” kata Ulfa.
Fatimah menerangkan bahwa peserta menunggak iuran karena mengaku tak ada waktu. Mereka hanya mau membayar iuran jika hendak berobat.
Mereka umumnya paham bahwa mereka harus membayar iuran. Selain itu mereka juga mengerti tentang aturan menunggak. Jika tiga tahun tak bayar maka boleh bayar satu tahun saja.
Kelonggaran ini yang mereka manfaatkan. Pengalaman Masita mungkin yang paling seru.
“Saya diusir ketika menagih. Pulang…pulang…,” katanya sambil memperagakan gerakan orang itu yang sambil berdiri mengibas-ngibaskan kedua tangannya. Menurutnya, orang itu menunggak Rp 3 juta.
Sebetulnya BPJS Kesehatan telah menyediakan beragam kanal pembayaran untuk kemudahan menunaikan iuran. Bisa melalui bank secara langsung, melalui kantor pos, melalui ATM, melalui mobile banking, melalui indomaret dan alfamaret dan sebagainya.
Namun penunggakan iuran selalu terjadi. Sebagian memang benar-benar tak mampu tapi belum terdeteksi pemerintah untuk didaftarkan melalui jalur peserta Penerima Bantuan Iuran maupun melalui jalur peserta Jamkesda.
Namun sebagian lagi memang mampu untuk bayar iuran sendiri. Nah, peserta terakhir yang menunggak inilah yang menjadi sasaran tugas tim relawan.
Di saat ada musibah seperti saat ini, para kader JKN-KIS di Palu mengaku untuk sementara tak melakukan penagihan. “Bisa dipentung nanti,” kata Rahmi.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.