Rabu, 3 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Flexing di Tengah Lapar, Jurang Sosial yang Menjadi Bensin Ledakan

Tragedi ojek online tewas picu amuk massa nasional. Ketimpangan sosial dan brutalitas aparat jadi pemantik gelombang protes.

Editor: Glery Lazuardi
Tribunnews.com/ Reynas Abdila
RUMAH UYA KUYA - Kondisi terkini kediaman Anggota DPR RI nonaktif Surya Utama alias Uya Kuya kberantakan setelah terjadi aksi penjarahan di Jalan Statistik No 1F, Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur, Minggu (31/8/2025) 

Muhammad Reza Al Habsyi

Pengamat Sosial-Politik Universitas Ibnu Chaldun

S1: Ilmu Politik Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

S2: Pemikiran Politik Islam Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

TRIBUNNEWS.COM - Kita dikagetkan oleh gelombang massa yang luar biasa. Aksi yang mula-mula lahir dari tuntutan di DPR pada 25–28 Agustus, perlahan melebar dan membesar.

Gerakan sosial yang semula berupa unjuk rasa damai berubah wajah menjadi lebih agresif, menyasar rumah sejumlah anggota DPR, menteri, hingga fasilitas umum yang dijarah oleh warga. Dari sekadar kemarahan publik, kini menjelma menjadi amuk massa yang melampaui batas-batas rasionalitas.

Puncaknya, momentum tragis terjadi: seorang pengemudi ojek online tewas akibat brutalitas polisi. Sejak saat itu, institusi kepolisian dan parlemen, baik DPR maupun DPRD, tiba-tiba menemukan dirinya menjadi common enemy rakyat, berubah dari lembaga resmi negara menjadi simbol penindasan yang harus ditolak bersama.

Gejolak ini tidak berhenti di Ibu Kota saja. Ia menjalar ke Makassar, Bandung, Surabaya, hingga kota-kota lain di Indonesia. Seolah ada notifikasi tak kasatmata yang diterima bersama, rakyat dari berbagai daerah berdiri dalam satu gelombang solidaritas.

Sekat-sekat teritorial yang biasanya membatasi runtuh begitu saja, digantikan oleh rasa senasib yang menjalar cepat, bak api yang membesar dan sulit dikendalikan.

Menjarah dengan alasan apa pun tentu tidak dapat dibenarkan. Namun kita tidak bisa menutup mata bahwa peristiwa ini adalah akumulasi kekecewaan rakyat yang telah lama menumpuk, menyerupai gelegar ombak yang akhirnya pecah.

Menjarah adalah ekspresi paling kasar dari keputusasaan. Ia adalah tanda bahwa struktur sosial sudah kehilangan legitimasi. Dalam bahasa sederhana: jika rakyat sudah merasa tidak punya apa-apa lagi yang bisa dijaga, maka hukum pun kehilangan daya magisnya.

Inilah pelajaran paling getir bagi pejabat atau tokoh publik mana pun yang gemar mempertontonkan harta dan gaya hidup. Sebab di hadapan orang lapar, kata-kata bisa berubah menjadi luka, dan pamer bisa menjelma bara.

Dunia maya yang penuh “flexing” hanya mempercepat jurang sosial: satu pihak tertawa di restoran mewah, sementara pihak lain bahkan kesulitan membeli beras. Ketimpangan itu, ketika dipertontonkan tanpa malu, menjadi bensin yang menyulut ledakan sosial.

Sejarah berkali-kali memberi peringatan yang sama: kekuasaan yang abai terhadap derita rakyat akan runtuh bukan karena lawan politiknya, melainkan karena tangan orang-orang kecil yang lapar, tersisih, dan tercekik.

Mussolini, Nicolae dan Elena Ceaușescu, adalah contoh nyata bagaimana benteng kekuasaan bisa runtuh hanya dalam hitungan jam ketika massa yang terdesak kehilangan kesabaran.

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan