Tribunners / Citizen Journalism
Kolom Pepih Nugraha
Jejak Langkah Jakob Oetama
Jadi,setiap wartawan Kompas dengan sendirinya harus mendapatkan mahkotanya sendiri dengan buku yang ditulisnya.
Editor:
Achmad Subechi
Jakob dengan Harian Kompas-nya sering diejek sebagai "jurnalisme kepiting". Diam saat ada bahaya, tetapi maju saat situasi aman-aman saja.
Kepiting juga kerap berjalan miring yang menunjukkan sikap Kompas yang selalu "mlipir" dalam mengeritik pemerintahan Soeharto yang represif, khususnya dalam Tajuk Rencana sebagai arah Kompas dalam bersikap.
Selaku anak buahnya, karyawan dan kemudian jurnalis yang pernah bernaung di Harian Kompas selama 26 tahun, saya akan selalu mengingat ulang tahun Pak Jakob, demikian para karyawan memanggilnya, yakni 27 September 1931.
Bagi karyawan yang bernaung di kelompok usaha yang dibangun Jakob-Ojong, Kompas Gramedia, ulangtahun kelipatan 5 adalah hari yang sangat dinantikan, sebab sudah dapat dipastikan ulangtahun ke-60, 65, 70, 75, dan 80, selalu ada gaji tambahan bagi karyawan-karyawannya.
Jakob dan Ojong berhasil membangun kerajaan bisnis media di Indonesia. KG berikibar tanpa saingan untuk urusan percetakan, penerbitan, majalah, koran, radio, online dan belakangan televisi.
Saat KG berada di puncak kejayaannya, ia memiliki jaringan Toko Buku (Gramedia), Hotel Santika, perusahaan kertas tissue, sampai rotan.
Selain punya naluri jurnalistik yang tinggi (terbukti dengan gelar Doctor Honoris Causa dari UGM yang diperolehnya), Jakob-Ojong juga punya naluri bisnis yang jempolan.
Hampir semua unit usaha yang mereka dirikan berakhir sukses.
Di lingkungan Harian Kompas, Jakob adalah icon, sosok dan legenda hidup dengan filosofis kemanusiaan transenden-nya dan tafsir ora et labora sebagai "bersyukur tiada akhir" yang ditanamkan kepada semua karyawannya.
Jakob tidak menerapkan gaji yang sangat tinggi bagi karyawannya, khususnya wartawannya, namun dia bersama Ojong lebih menekankan kepada aspek non materi (besaran gaji), tetapi lebih menekankan kepada kesejahteraan dan kesehatan.
Pada masa jayanya, karyawan bisa menerima gaji lebih dari 18 kali dalam setahun dengan unsur-unsur gratifikasi-bonus-THR dan bonus prestasi lainnya.
Sebagai jurnalis, sekitar pertengahan tahun 1990-an, saya pernah merasakan masa-masa di mana pada malam hari salah seorang pemegang saham Harian Kompas memanggil jurnalis-jurnalis yang dianggap telah bekerja lebih ke ruangannya.
Di ruangan inilah disodorkan selembar cek yang jumlahnya bisa berkali-kali lipat gaji pokok yang diterima setiap bulannya!
Namun ketika manajemen dibenahi oleh CEO Agung Adiprasetyo di tahun 2000an, "panggilan menyenangkan" pada malam hari itu sudah tidak ada lagi.
Semua terukur dengan menggunakan "rezim" KPI (key performance index) di mana kinerja karyawan/wartawan dinilai dua kali dalam setahun dengan ukuran yang telah ditentukan.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.